Jakarta, IDN Times - Memasuki pekan kedua, pemerintah belum juga menetapkan banjir di Sumatra sebagai bencana nasional. Padahal, jumlah korban meninggal dunia sudah menembus 604 jiwa dan 464 jiwa dilaporkan masih hilang. Selain itu, area terdampak bencana di waktu berdekatan berlokasi di tiga provinsi.
Presiden Prabowo Subianto dalam kunjungannya ke Pulau Sumatra kemarin seolah memberikan petunjuk status banjir di Sumatra belum akan dinaikan menjadi bencana nasional. Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar, menduga ada tiga alasan mengapa pemerintah enggan menetapkan banjir di tiga provinsi sebagai bencana nasional.
"Pertama, status bencana nasional akan memaksa pemerintah pusat mengambil alih komando dan membuka lebih luas akuntabilitas negara. Termasuk membuka data perizinan dan kelemahan tata ruang yang selama ini dilindungi di balik istilah 'kewenangan daerah,'" ujar Melky kepada IDN Times melalui pesan pendek, Senin, 1 Desember 2025.
Alasan kedua, kata Melky, penetapan bencana nasional diduga berpotensi mengganggu kepentingan investasi, karena akan menyoroti langsung peran izin tambang, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), panas bumi, sawit dan konsesi lain di hulu sebagai faktor risiko. Jadi, bukan lagi sebagai latar belakang.
Alasan ketiga, bila banjir Sumatra diakui sebagai bencana nasional, maka bakal muncul tuntutan dari publik untuk meninjau ulang, membekukan, bahkan mencabut izin-izin bermasalah. "Sehingga akan sulit lagi dibendung dengan narasi banjir disebabkan oleh cuaca ekstrem atau siklon semata," tutur dia.
