Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Gedung Marabunta menjadi saksi kisah perjalanan seorang penari sekaligus agen mata-mata saat PD I meletus. Foto oleh Fariz Fardianto/Rappler

Oleh: Fariz Fardianto

SEMARANG, Indonesia — Gerimis yang mengguyur Kota Lama Semarang tak menyurutkan langkah kaki untuk menyambangi Gedung Marabunta, pada Minggu, 21 Januari 2018.

Berdiri di tepi Jalan Cenderawasih, Marabunta gampang dikenal karena terdapat dua patung semut merah yang nangkring di atapnya.

Saat masuk ke dalam, Alexandra Tri Tantya, pengelola gedung tersebut menyambut ramah. Alexa, panggilannya, sudah tiga tahun belakangan merawat gedung itu untuk dijadikan kafe bernuansa klasik.

"Semula idenya dari bapak saya sebagai pelestari Kota Lama yang melihat gedung ini kosong, kusam, dan jarang ada event. Maka dicobalah bersih-bersih lama-lama dikelola jadi kafe," kata Alexa kepada Rappler.

Sejarah Gedung Marabunta

Marabunta telah berdiri sejak 1954 silam. Dilihat dari interior ruangannya, terdapat sejumlah perabotan yang telah dipermak, tetapi tak sedikit pula yang dibiarkan asli.

Interior yang dipertahankan mulai atap bangunan berbahan dasar kayu dengan bentuk melengkung serta beberapa kaca patri.

"Dari sisi ornamennya ‘ndak pernah berubah, paling hanya ditembel biar enggak keropos. Dulunya semua ornamen interiornya berasal dari gedung opera Stoberg samping Marabunta yang sekarang sudah roboh," tuturnya.

Marabunta awalnya bernama Gedung Margarete Gertruida Macleod (MGM). Margarete merupakan sosok penari asal Belanda yang tersohor sebelum Perang Dunia I meletus.

Jejak sang penari

Editorial Team

Tonton lebih seru di