Jejak Politik Megawati, Pernah Didongkel Penguasa Hingga Jadi Presiden

Jakarta, IDN Times - Siapa tak mengenal perempuan satu ini. Dia menjadi perempuan satu-satunya yang pernah menjadi presiden di Indonesia. Ya, perempuan itu adalah Megawati Soekarnoputri.
Megawati saat ini menjabat sebagai Ketua Umum PDIP. Hampir 26 tahun ia memimpin partai berlambang banteng itu. Sebuah perjalanan yang luar biasa. Lalu, seperti apa perjalanan karier putri Soekarno tersebut?
1. Megawati lahir saat Soekarno diasingkan ke Pulau Bangka
Megawati adalah anak kedua Presiden Sukarno dan Fatmawati. Mega begitu nama akrabnya, lahir di Kampung Ledok Ratmakan, tepi barat Kali Code, 23 Januari 1947.
Megawati lahir ketika Sukarno diasingkan ke Pulau Bangka. Saat kemerdekaan Indonesia, Megawati dibesarkan di Istana Merdeka.
Megawati pernah menuntut ilmu di Universitas Padjadjaran di Bandung, di bidang pertanian, namun ia tidak menyelesaikan kuliah. Selain itu, ia juga pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, tetapi tidak sampai lulus juga.
2. Lika Liku kisah cinta Megawati
Meski terlihat kuat menjalani karier politiknya, namun Mega sama seperti manusia lain yang memiliki kisah cinta berliku. Mega sendiri bisa dikatakan menjadi salah seorang perempuan yang pernah merasakan hancurnya ditinggal suami tercinta dua kali.
Megawati pertama kali menikah dengan Surindro Supjarso, seorang pilot pesawat AURI dan perwira pertama di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) RI. Keduanya menikah pada 1 Juni 1968, bertempat di Jalan Sriwijaya Nomor 7, Kebayoran Baru, Jakarta.
Kemudian, Megawati ikut bersama suaminya ke Madiun, dan menjadi ibu rumah tangga. Ia juga mengurus putra pertamanya yaitu Muhammad Rizki Pratama. Ketika Megawati mengandung anak keduanya, Muhammad Prananda Prabowo, ia mendapatkan kabar buruk.
Suaminya, Surindro, mengalami kecelakaan pesawat yang merenggut nyawanya. Pesawat Skyvan T-701 yang dikendalikannya terempas di laut sekitar perairan pulau Biak, Irian Jaya, pada tanggal 22 Januari 1970.
Surindro dan tujuh orang awak pesawatnya hilang tak diketahui rimbanya dan hanya tersisa serpihan puing-puing tubuh pesawat yang ditemukan tersebar berserakan di laut sekitar perairan tersebut. Kehilangan suami tercintanya, Mega pun langsung merasakan duka mendalam yang cukup lama.
Setelah dirundung duka yang cukup lama, pada tahun 1972, tepatnya saat usia Mega menginjak awal 20-an, ia mulai merajut kembali memulai cerita cintanya. Kali ini, Mega menjalin kisah asmaranya dengan seorang pengusaha asal Mesir, yang juga sebagai Diplomat Mesir, bernama Hassan Gamal Ahmad Hasan.
Setelah menjalin kisah cinta, mereka berdua memutuskan untuk menikah. Namun, pernikahan Mega yang kedua kali ini tak berlangsung lama dan hanya bertahan tiga bulan. Pernikahannya tak bertahan lama lantaran Mega dan Hassan menjadi sorotan media massa saat itu, alasannya, waktu itu Megawati masih terikat pernikahan yang sah dengan Surindro, suami pertamanya. Saat itu, belum ada keputusan yang pasti dari pemerintah, dalam hal ini adalah Markas Besar (Mabes) TNI-AU, mengenai nasib suami pertamanya itu yang jenazahnya sampai sekarang tak berhasil ditemukan.
Keluarga Bung Karno pun tak tinggal diam, mereka kemudian menyewa seorang pengacara, Sumadji namanya, guna membatalkan pernikahan Mega kedua yang kontroversial itu melalui penetapan keputusan oleh Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, akhirnya Hassan pun mengalah dan menyerah. Dari pernikahan dengan suami keduanya yang tak lami ini, Megawati tidak dikaruniai anak.
3. Megawati menikah dengan Taufiq Kiemas
Setelah menikah dua kali, akhirnya Megawati kembali menemukan seorang pria yang mampu menggetarkan hatinya. Mega kembali membangun bahtera rumah tangga bersama dengan Moh Taufiq Kiemas.
Taufiq sendiri adalah rekannya sesama aktivis di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dulu yang juga menjadi salah seorang penggerak Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Taufiq yang aktif di GMNI dan diberi julukan 'si Bule' ini, menikahi Mega pada akhir Maret 1973. Pesta pernikahan mereka ini berlangsung di Panti Perwira, Jakarta Pusat. Dari pasangan ini, lahirlah putri dari keduanya yaitu Puan Maharani, yang merupakan anak ketiga dari Megawati Soekarnoputri dan anak pertama Taufiq Kiemas satu-satunya.
4. Karier politik Mega yang melesat cepat bagai roket
Tak seperti kisah cintanya yang berliku, karier politik Megawati justru melesat. Pada tahun 1986, Megawati mengawali karier politiknya sebagai wakil ketua PDI Cabang Jakarta Pusat. Tak butuh waktu lama, dalam satu tahun, Mega sudah melesat ke tingkatan yang lebih tinggi yaitu anggota DPR RI.
Dalam Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan di Surabaya 1993, Megawati terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PDI. Namun, di tahun 1996, pemerintah tidak puas dengan terpilihnya Mega sebagai Ketua Umum PDI. Mega pun didongkel dalam Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, yang memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI.
Tak terima dengan pencopotan posisinya, Mega pun tidak mengakui Kongres Medan tersebut. Mega masih merasa sebagai Ketua Umum PDIP yang sah. Kantor dan perlengkapannya pun dikuasai oleh pihak Mega.
Pihak Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka tetap berusaha mempertahankan kantor DPP PDI. Namun, Soerjadi yang didukung pemerintah memberi ancaman akan merebut secara paksa kantor DPP PDI yang terletak di Jalan Diponegoro.
Tak mengindahkan ancaman Soejardi, ancaman tersebut pun menjadi nyata. Pada 27 Juli 1996, kelompok Soerjadi benar-benar datang dan merebut kantor DPP PDI dari pendukung Mega. Aksi penyerangan itu dikenal dengan nama Peristiwa 27 Juli. Kerusuhan itu pula yang membuat beberapa aktivis mendekam di penjara.
Meski peristiwa penyerangan kantor DPP PDIP cukup menyisakan luka, tetapi hal itu ternyata tak membuat langkah Mega turun. Alih-alih menyerah, Mega malah semakin mengobarkan bendera perlawan.
Saat itu, Mega memilih melawan melalui jalur hukum. Meski perlawanannya kandas di pengadilan, Mega tetap tidak berhenti. Karena perebutan kursi ketum, PDIP pun terpecah menjadi dua, yakni kubu Soerjadi dan kubu Megawati. Pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Namun, massa PDI lebih berpihak pada Mega.
5. Megawati menunjuk Jokowi mengikuti Pilpres
Walaupun tak diakui pemerintah sebagai ketum PDIP yang sah, namun keberpihakan massa PDIP kepada Mega terlihat saat Pemilu 1997. Perolehan suara PDI di bawah Soerjadi merosot tajam. Sebagian massa Mega berpihak ke Partai Persatuan Pembangunan, yang kemudian melahirkan istilah "Mega Bintang". Mega sendiri memilih golput saat itu.
Kekuatan Mega semakin terlihat saat Pemilu 1999 berlangsung. Pada saat itu, PDIP di bawah Mega berhasil memenangkan Pemilu. Walaupun tidak menang telak, namun perolehan suara yang didapat PDIP berhasil merail 30 persen suara. Massa pendukungnya pun memaksa supaya Mega menjadi presiden. Mereka mengancam, kalau Mega tidak jadi presiden akan terjadi revolusi.
Namun alur yang berkembang dalam Sidang Umum 1999 mengatakan lain, dan memilih KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Ia kalah tipis dalam voting pemilihan presiden adalah 373 banding 313 suara.
Lagi-lagi Dewi Fortuna kembali mengiringi langkah politiknya, tak harus menunggu 5 tahun untuk mendapatkan kursi sebagai orang nomor satu di Indonesia itu, pada 2001, melalui Sidang Istimewa MPR, Megawati ditunjuk oleh MPR sebagai Presiden dan menggantikan posisi Gus Dur.
Masa pemerintahan Megawati ditandai dengan semakin menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia. Dalam masa pemerintahannya lah, pemilihan Presiden digelar secara umum, dan hal itu dianggap menjadi salah satu keberhasilan proses demokrasi di Indonesia.
Namun, posisinya sebagai Presiden juga tak bisa bertahan lama. Pada 2004, ia harus menerima kekalahan dan menyerahkan tonggak kepemimpinan kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang juga mantan Menteri Koordinator pada masa Mega.
Pada Pemilu 2014, Mega menunjuk Joko "Jokowi" Widodo untuk maju dalam Pilpres melawan Prabowo Subianto. Akhirnya, melalui proses pemilu yang cukup panjang, Jokowi dan Jusuf Kalla terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2014 - 2019.