Jagat internet merupakan salah satu dimana ajang kampanye politik dapat dilakukan, seperti 2014 lalu. Kominfo juga masih akan membicarakan untuk hal yang serupa dengan platform yang sejenis juga.
Kiprah mesin pencari dan media sosial selama pemilihan umum pertama kali menarik perhatian pada Pilpres Amerika Serikat 2017 silam. Biro Investigasi Federal AS (FBI) melaporkan adanya pihak asing yang membeli iklan melalui Google, Facebook dan Twitter untuk mempengaruhi pemilih lewat berita palsu dan hoax.
Atas dasar itu Google sejak Mei silam menyaratkan pemasang iklan menunjukkan kartu kependudukan atau penduduk tetap di Amerika Serikat. Dengan ketentuan baru ini Google akan meminta pengiklan membuktikan identitasnya, entah itu perorangan, organisasi, atau komite politik. Google juga akan meminta agar tampilan iklan mengungkap sponsor yang membeli iklan tersebut.
Saat yang bersamaan Google Asia Pasifik juga memutuskan akan melarang semua bentuk iklan politik di Indonesia, termasuk di platform video Youtube. Namun begitu perusahaan asal California tersebut tidak bisa mengintervensi konten tak berbayar, kecuali yang dilaporkan karena dianggap melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Hingga kini Google belum memastikan bakal mengerahkan tenaga manusia sebagai kurator iklan dan hanya akan mengandalkan sistem otomatis yang menyaring dan menolak iklan-iklan yang tidak sesuai dengan kebijakan periklanan perusahaan.