Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Jimly Asshiddiqie
Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie. (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Intinya sih...

  • Pengesahan KUHP baru menuai kritik dari koalisi masyarakat sipil

  • Jimly menyarankan pihak yang keberatan untuk segera uji ke MK tanpa menunggu proses administratif lebih lanjut

  • Jimly tidak setuju dengan desakan agar Presiden menerbitkan Perppu untuk menganulir pasal-pasal bermasalah

  • Bila tidak setuju, bisa melakukan judicial review ke MK

  • KUHP sudah final disahkan oleh DPR, namun Jimly mendorong MK untuk memprioritaskan sidang uji materi undang-undang tersebut

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) segera berlaku pada Januari 2026. Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie, mengatakan KUHP merupakan momen bersejarah.

"Ya pasti, itu juga akan kita diskusikan. Jadi kita harus, kita harus syukuri, KUHP sudah ditetapkan dan mulai akan berlaku tahun depan. Ini sejarah, kenapa? Usaha untuk memperbaharui KUHP kan sejak tahun 63. Baru berhasil sekarang, 2023 kemarin dan berlakunya mulai tahun depan. Jadi kita harus siap-siap," ujar Jimly di kantor Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (25/11/2025).

1. Ada sejumlah pihak mengritik pengesahan KUHP baru

Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie. (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Meski demikian, pengesahan KUHP ini menuai kritik dari koalisi masyarakat sipil yang mengkhawatirkan dampaknya terhadap reformasi Polri. Menanggapi hal tersebut, Jimly menyarankan agar pihak yang keberatan segera menempuh jalur hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK) tanpa perlu menunggu proses administratif lebih lanjut.

"Ya bisa itu, kalau tidak setuju, kalau ada yang serius gitu, segera aja ajukan ke MK. Tidak usah nunggu 30 hari. Tidak usah nunggu ditandatangani oleh Presiden," ucap dia.

Terkait desakan agar Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menganulir pasal-pasal bermasalah, Jimly menyatakan ketidaksetujuannya. Menurutnya, mekanisme yang tepat adalah judicial review, karena penggunaan Perppu dikhawatirkan dapat memicu penyalahgunaan wewenang di masa depan.

"Lah iya diajukan ke judicial review. Itu mekanismenya judicial review. Kalau Perppu, nanti kalau Perppu ditetapkan, untuk kepentingan yang lain, marah. Ini supaya yang sesuai sama dia bikin Perppu. Jadi Perppu itu kayak jadi anu gitu loh, ya kan? Itu nanti disalahgunakan," kata dia.

2. Bila tidak setuju bisa judicial review ke MK

Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie. (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Jimly menjelaskan, secara materiil, KUHP tersebut sudah final setelah disahkan oleh DPR. Oleh karena itu, ia mendorong MK untuk memprioritaskan sidang uji materi undang-undang tersebut untuk mencegah potensi masalah hukum di kemudian hari.

"Ya udah, sudah ada mekanismenya. Undang-undang sudah jadi dan sudah disahkan secara materiil, sudah final. KUHP itu sudah final disahkan di DPR berdasarkan Pasal 20 ayat 5 Undang-Undang Dasar kita. Tapi ada peluang di situ dalam 30 hari kalau Presiden tidak menandatangani, itu langsung sah menjadi undang-undang. Artinya sudah final secara materiil. Nah, maka tidak usah nunggu 30 hari, ajukan aja ke MK," kata dia.

3. Sudah ada tradisi di MK tak perlu menunggu 30 hari

Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie. (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Jimly mengatakan, sudah ada tradisi di MK tak perlu menunggu 30 hari kerja untuk melakukan uji materiil.

"MK pun harus sudah membangun tradisi bahwa tidak usah nunggu diundangkan dulu pakai nomor, baru diuji. Jadi rancangan undang-undang yang sudah diketok palu itu sudah final secara materiil. Daripada nanti menimbulkan korban, segera aja diuji, minta prioritas sidang cepat. Nah gitu. Jangan Perppu dong," ujar dia.

Editorial Team