Kader PDIP yang menggugat SK Perpanjangan Kepengurusan ke PTUN Jakarta (dok. PDIP)
Dalam kesempatan itu, Jairi menjelaskan, mereka diminta untuk menandatangani kertas kosong oleh seseorang bernama Anggiat BM Manalu di sebuah posko tim pemenangan. Setelah menandatangani kertas tersebut, mereka diberi imbalan sebesar Rp300 ribu.
Menurutnya, mereka tidak mengetahui bahwa tanda tangan tersebut akan digunakan untuk menggugat SK Kepengurusan DPP PDIP.
"Pada kesempatan malam ini, saya menyatakan atau mengklarifikasi bahwa kami merasa dijebak dengan adanya surat gugatan yang ditujukan kepada ketua umum kami. Kami hanya dimintakan tanda tangan di kertas kosong, setelah itu kami diberikan imbalan Rp300 ribu,” kata Jairi.
Jairi dan keempat rekannya sempat diberitahu tanda tangan tersebut diperlukan untuk mendukung demokrasi. Karena tidak ada penjelasan lebih lanjut dan merasa tidak ada yang salah dengan mendukung demokrasi, mereka pun setuju. Namun, belakangan mereka sadar bahwa kertas kosong tersebut diubah menjadi surat kuasa gugatan.
“Betul (kami tidak tahu kertas kosong itu akan digunakan untuk surat kuasa menggugat SKK DPP PDIP). Jadi kertas kosong itu kami tandatangani, tidak ada arahan atau penjelasan kepada kami. Cuma kami dimintakan tanda tangan saja,” ucap dia.
Menurutnya, Anggiat BM Manalu, orang yang meminta tanda tangan mereka, tidak menyebutkan adanya kaitan dengan partai. Jairi menegaskan, saat itu tidak ada penjelasan bahwa tanda tangan mereka akan digunakan untuk kepentingan gugatan.
“Alasan yang diberikan pihak mereka kepada kami, yang saya tanyakan, katanya itu untuk dukungan demokrasi. Cuma itu saja yang disampaikan kepada kami. Dalam hal ini yang menyampaikan itu namanya Bapak Anggiat M Manalu,” kata Jairi.