Kegiatan Penemuan Kasus Aktif (Active Case Finding/ACF) untuk skrining kasus Tuberkulosis (TBC) di Kota Semarang. (IDN Times/Dhana Kencana)
Sebelumnya, sejumlah kader TBC di lapangan mengeluhkan belum adanya insentif tetap dari pemerintah daerah, meski beban kerja mereka meningkat seiring dengan target eliminasi TBC nasional pada 2030.
Kader TBC dari Jakarta Utara, Ike Minah mengatakan selama ini tidak ada insentif dari pemerintah daerah. Kondisi ini berbeda dengan kader Jumantik dan Dasawisma yang mendapatkma insentif Rp750 ribu.
"Tidak ada gaji dar pemerintah atau setidaknya vitamin atau pendukung. Padahal kamu merupakan garda terdepan dalam penanganan TBC," ucapnya.
Selama ini, Ike hanya mendapat bantuan operasional dari NGO (Non-Governmental Organization) sebesar Rp900 ribu per bulan jumlah yang jauh dari cukup dengan risiko.
"Namanya di jalan butuh bensin, makan, kadang ban bocor, beli susu, vitamin. Bahkan seringkali pasien TBC juga berutang karena mereka anggap kami seperti keluarga. Jadi ya kalau kami dampingi biasanya kami pakai uang transport kami sendiri. Bukan berarti kami banyak uang tapi kami merasa sudah panggilan dari hati," ucapnya lirih.
Namun, saat program berhenti maka dia tidak mendapatkan fee. Meski demikian, Ike masih melayani pasien TBC.
"Tetap jemput dahak bagi pasien, siapa yang mau periksa dahak tetap saya jemput. Saya antar ke Puskesmas. Saya tetap memberikan edukasi, memberikan penyuruhan, memberikan screening ke masyarakat tetap jalan terus setiap hari. Jadi nggak melihat ada apa tidak tapi saya mohon si pemerintah coba tengoklah kami," ucapnya.