Tampak Massa Demo Omnibus Law Berkonvoi di Jalan Gatot Subroto pada Kamis (8/10/2020) (IDN Times/Winston Utomo)
Demonstrasi tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja terjadi sejak 2019 dan berlangsung secara bergelombang. Aksi tolak RUU Cipta Kerja semakin masif menjelang pengesahan.
Aksi di depan gedung DPR/MPR itu berlangsung hampir setiap pekan hingga puncaknya pada Sidang Paripurna DPR RI, 14 Agustus 2020. Ribuan buruh, mahasiswa, hingga pelajar turun ke gedung DPR.
Selain aksi tiap pekan terus-menerus di gedung DPR RI dan Kementerian Koordinator bidang Perekonomian di Jakarta, massa yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) juga melakukan demo di 20 provinsi secara bergelombang dan terus-menerus, untuk menyuarakan isu yang sama.
Pada 14 Agustus 2020, polisi juga sempat melakukan pengadangan di beberapa titik, untuk mencegah massa yang masuk dari luar daerah menuju gedung DPR RI.
Presiden KSPI Said Iqbal menjelaskan, permasalahan mendasar Omnibus Law yang merugikan buruh dan rakyat kecil adalah menghapus upah minimum, yaitu Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK), serta memberlakukan upah per jam di bawah upah minimum.
Selain itu, mengurangi nilai pesangon dengan menghilangkan uang penggantian hak dan mengurangi uang penghargaan masa kerja. Belum lagi soal penggunaan buruh outsourcing dan buruh kontrak seumur hidup untuk semua jenis pekerjaan.
Waktu kerja yang eksploitatif dan menghapus beberapa jenis hak cuti buruh serta menghapus hak upah saat cuti, mempermudah masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) buruh kasar di Indonesia tanpa izin tertulis menteri.
RUU Ciptakerja juga dianggap mereduksi jaminan kesehatan dan pensiun buruh dengan sistem outsourcing seumur hidup, mudahnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sewenang-wenang tanpa izin pengadilan perburuhan, menghapus beberapa hak perlindungan bagi pekerja perempuan, dan hilangnya beberapa sanksi pidana untuk pengusaha ketika tidak membayar upah minimum dan hak buruh lainnya.