Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IKONIK. Changing Perspective, karya ikonik dari Wedhar Riyadi. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Oleh Ari Susanto

SOLO, Indonesia—Dua jam sebelum dibuka, ratusan pengunjung sudah mengantre di luar halaman Tumurun Private Museum di Solo, Sabtu pagi, 14 April. Rencananya, museum seni rupa itu akan dibuka sehari untuk publik dan dibatasi hanya untuk 300 orang pendaftar selama soft launching. Namun, karena godaan foto-foto cantik museum di dunia maya, pengunjung yang datang membeludak hingga 500 orang.

Fenomena itu tak mengherankan, karena karya seni dan segala obyek yang secara visual indah selalu menjadi target buruan generasi milenial, seperti halnya Museum Macan di Jakarta. Media sosial, tak bisa dihindari, telah mengubah hakikat sebuah seni rupa, bukan lagi hanya karya agung seniman tetapi juga latar yang nyeni bagi foto-foto pribadi di Facebook dan Instagram.

Galeri modern

Jauh dari kesan museum yang kuno, Tumurun lebih menyerupai galeri seni rupa bergaya modern dua lantai seluas 1.800 meter persegi. Bangunan ini dirancang seperti sebuah art space dengan ruang pamer yang mumpuni, seperti halnya Sangkring Art Space atau Cemeti Art House di Yogyakarta. 

Langit-langit tinggi yang memberi kesan lega, pencahayaan ruangan dengan lampu khusus, pintu kaca otomatis, dan pendingin suhu udara untuk mencegah koleksi rusak karena kelembaban–fasilitas standar museum yang memiliki koleksi berharga–mengesankan pemilik museum serius membangun fasilitas seni ini.

Semua koleksi di Tumurun merupakan milik pribadi keluarga HM Lukminto, pendiri raksasa bisnis tekstil terbesar di Asia Tenggara, Sri Rejeki Isman (Sritex) Group. Semasa hidupnya, Lukminto gemar mengoleksi karya seni rupa dari seniman Indonesia dan luar negeri serta mobil-mobil kuno.

Hobi raja tekstil yang mengekspor baju militer ke lebih dari 70 negara ini juga menular ke anaknya, Iwan Kurniawan Lukminto, yang kemudian memiliki inisiatif membuat sebuah museum untuk menyimpan seluruh koleksi keluarga. Dari sini, muncul nama Tumurun, yang dalam bahasa Jawa berarti warisan yang diturunkan dari generasi ke generasi.

“Daripada tersimpan di garasi, berdebu, tak terawat, lebih baik dibuatkan museum sehingga karya seni ini bisa diapresiasi para penikmat seni rupa,” kata Iwan saat mengenalkan museum itu pada publik. 

Aturan masuk Tumurun sama dengan aturan standar museum pada umumnya. Pengunjung dilarang menggunakan flash saat memotret, menyentuh semua benda karya seni, membawa makanan dan minuman serta binatang peliharaan, menyalakan dering telepon, dan membuat kegaduhan. 

Bagi yang kerap mengunjungi museum atau pameran seni rupa, tentu mengerti bahwa lampu kilat kamera akan merusak pigmen warna cat pada lukisan dan mempercepat pemudaran. Menyentuh lukisan dengan tangan telanjang juga bisa menyebabkan korosi pada kanvas.

Apa saja koleksinya?

Secara garis besar, koleksi yang jumlahnya sekitar seratus buah itu dikategorikan menjadi dua. Lantai atas menjadi ruang pamer bagi karya lukis modern para empu seni rupa, seperti maestro ekspresionisme Affandi, begawan realisme dan naturalisme Basoeki Abdullah, Bapak Seni Rupa Indonesia Modern S Sudjojono, perintis romantisisme di Indonesia Raden Saleh, serta pelukis kenamaan Hendra Gunawan dan Lee Man Fong. Karya pelukis Belanda yang pernah berkarya di Bali, seperti Rudolf Bonnet dan Willem Hofker, serta seniman Filipina berdarah Spanyol-Amerika Antonio Blanco juga ada di sini. 

Sayangnya, karena penataan lantai atas belum sepenuhnya selesai saat peluncuran, pengunjung belum diizinkan mengeksplorasi karya-karya yang terpajang di sana. Sementara, karya kontemporer dari seniman seperti Heri Dono, Eko Nugroho, Eddy Susanto, Eddie Hara, Geraldine Javier, Aya Takano, Kei Imazu, Rudi Mantovani, Aditya Novali, hingga Christine Ay Tjoe dipamerkan di lantai dasar. Selain itu, terdapat pula tiga mobil antik milik Lukminto pabrikan Mercedes Benz dan Dodge.

Saat memasuki ruang museum, yang tampak mencolok pertama kali adalah seni instalasi ganjil berbentuk susunan vertikal bola mata berukuran setinggi tujuh meter bertajuk Changing Perspectives. Karya yang terkenal karena pernah tampil dan menjadi tema utama Art Jog ke-10 2017 di Jogja National Museum ini dibuat oleh Wedhar Riyadi, seorang perupa muda asal Yogyakarta.

Wedhar merupakan seniman yang dipengaruhi oleh budaya pop dan teknologi. Karyanya yang ngepop tak jauh dari karakter kartun, komik, dan anime. Instalasi bola mata ini menggambarkan sebuah situasi di era digital ketika teknologi informasi membuat manusia seakan-akan selalu diawasi oleh banyak mata. Bahkan, media sosial telah menjelma menjadi “mata berkaki” yang bisa mengikuti ke mana pun mereka bergerak dan beraktivitas, menggerus ruang privasi para pengguna.

Di Tumurun, karya Wedhar menjadi ikon dan paling awal menarik perhatian karena letaknya di tengah-tengah ruangan. Instalasi raksasa di museum semacam ini bukan hal aneh. El Museo Guggenheim Bilbao Spanyol, misalnya, memiliki sebuah patung raksasa berwujud laba-laba “Maman” setinggi lebih dari sembilan meter karya seniman Perancis Louise Bourgeois, dan menjadi ikon museum yang dikenal dengan arsitekturnya yang unik itu.

Seni kontemporer

Keluarga Lukminto sepertinya tidak main-main dalam soal koleksi seni rupa. Hampir semua karya seni di museum Tumurun merupakan karya-karya  dari seniman kenamaan yang sudah pernah tampil di berbagai pameran seni rupa dunia dan menjadi incaran para kolektor. 

“Tujuan museum ini untuk memberi penghargaan pada seni rupa Indonesia. Kami ingin memberikan pengalaman bagi publik pecinta seni untuk menikmati koleksi kami,” kata Iwan yang mengaku kepincut dengan karya-karya perupa muda Indonesia.

“Indonesia punya banyak seniman yang berbakat tetapi apresiasi di dalam negeri masih kurang, mereka malah lebih terkenal di luar negeri,” lanjut dia.

Di salah satu sudut tak jauh dari pintu masuk, pengunjung disuguhi lukisan besar berukuran 3,5x3 meter, salah satu karya terkenal perupa kontemporer Yogyakarta Heri Dono berjudul Badman and Superbad. Karya yang dibuat tahun 2005 itu merupakan satir tentang drama Perang Irak yang menggambarkan tiga tokoh, yaitu George Bush, Tony Blair, dan Saddam Husein.

Seniman yang kerap tampil di berbagai pameran seni bergengsi dunia itu memiliki karya-karya bergaya jenaka, dengan ciri figur yang secara visual dipengaruhi oleh wayang kulit. Meski namanya melejit sebagai pelukis Indonesia, jebolan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini merupakan perupa serba bisa, dari melukis, membuat patung, membuat instalasi, hingga menulis konsep pertunjukan seni rupa.

Di bagian tengah ruangan, terdapat karya Eko Nugroho berjudul Life is A Trick yang merupakan lukisan portrait bergaya mural surealis–figur setengah badan orang berkepala menyerupai alien. Eko Nugroho saat ini dikenal sebagai seniman muda berbakat yang ngetop karena karya-karyanya yang mendunia, termasuk kolaborasinya dengan brand mode Louis Vuitton.

Perupa asal Yogyakarta ini muncul dengan memberi kesegaran bagi seni rupa Indonesia, dengan karyanya yang komikal, surreal, bermain-main, dan terkadang satir, namun bisa melepaskan diri dari sekat yang mengkotak-kotakan aliran seni yang terkadang membosankan. Eko bisa mencairkan high-art dan seni mural jalanan dan menyajikannya dengan warna baru. Seniman yang kerap diundang dalam program residensi seni di luar negeri ini juga dikenal dengan seni lukis bordirnya. 

Karya yang rumit

Lain Heri Dono dan Eko Nugroho, lain pula Eddy Susanto. Jika Heri dan Eko bereksperimen dengan pop satir dengan kekuatan warna dan visualisasi jenaka, Eddy lebih terkesan serius, berat, dan rumit di atas kanvas. Salah satunya dalam lukisan Melencolia I yang mendaur ulang karya ukir terkenal seniman Jerman abad Renaisans Albrecht Durer ke dalam lukisan.

Karya berukuran 2x3 meter yang tampak monokromatik itu jika diamati dari dekat akan memunculkan decak kagum. Percaya atau tidak, Eddy tidak benar-benar “menggambar” Melencolia, tetapi karya itu disusun dari deretan aksara Jawa hanacaraka berukuran milimeter. Deret aksara itu juga bukan huruf acak, tetapi naskah sastra Babad Tanah Jawa.

“Ini salah satu karya yang paling sulit saya dapat, butuh waktu cukup lama merayu galerinya agar bersedia melepas koleksinya,” ujar Iwan.

Eddy yang merupakan seniman grafis, dikenal karena ide-idenya yang berusaha membebaskan diri dari batasan waktu dan ruang. Tidak ada perbedaan antara zaman Renaisans dengan sekarang, dan tak ada jarak antara Eropa dan Jawa–karena apa yang terjadi di Eropa juga terjadi di Jawa pada saat yang sama.

Karya Eddy lainnya yang terpajang di museum ini adalah The Last Supper yang merupakan lukisan terkenal maestro dan si jenius Leonardo Da Vinci. Tak hanya membuat lukisan lukisan kanvas, Eddy juga menggambari meja kayu panjang yang didesain mirip yang digunakan dalam perjamuan terakhir itu, serta pada neon box di atasanya.

Aksara Jawa yang digunakan Eddy adalah larik-larik ramalan Jayabaya yang terkenal tentang tujuh zaman yang akan dilewati sebelum kiamat. Sementara, lukisan The Last Supper sendiri menyimpan kode-kode rahasia profetik tentang akhir dunia. Seolah-olah, apa yang diramalkan Da Vinci, juga diramalkan Jayabaya di Jawa.

Layak dikunjungi

Sayangnya, karena baru diluncurkan, museum ini belum memiliki kurator dan katalog koleksi, sehingga pemilihan dan pemasangan karya seni dilakukan sendiri oleh pengelola. Melihat dari sejumlah koleksi, museum ini punya cita rasa seni tinggi yang lebih cocok untuk para penikmat seni rupa ketimbang masyarakat awam.

Meski demikian, Tumurun layak dikunjungi siapa pun,  termasuk anak-anak sekolah, yang ingin menambah wawasan dan mengenal jagad seni rupa Indonesia modern. Meskipun merupakan museum pribadi, Tumurun bisa dikunjungi masyarakat umum secara gratis. 

Namun karena tidak melayani kunjungan spontan, pengunjung harus terlebih dulu menghubungi pengelola museum via email info@tumurunmuseum.com dan membuat janji tentang rencana kunjungannya. 

—Rappler.com

 

Editorial Team