Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi pelecehan (IDN Times/Mardya Shakti)

Jakarta, IDN Times - Peneliti Institut for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati memberikan pandangannya tentang polemik aspek consent atau persetujuan dalam Permendikbudristek No 30 Tahun 2021, tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Maidina mengungkapkan, pihak yang menolak konsep consent menyatakan bahwa hal itu artinya negara melegalkan perzinahan, dan merambat hingga Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) atau yang dulu dikenal dengan RUU PKS.

"Beberapa anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR merekomendasikan hilangnya bunyi pasal yang memuat kata-kata 'tidak disukai' 'dengan persetujuan' dan sebagainya, menjadikan kekerasan seksual didefinisikan oleh mereka sebagai semua bentuk perbuatan hubungan seksual yang bertentangan dengan norma agama, sosial, dan budaya," ujar dia dalam keterangannya, dikutip Selasa (30/11/2021).

1. Tidak adanya persetujuan artinya penyerangan integritas tubuh

Ilustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Penolakan pada konsep persetujuan ini tak berdasar dan dirasa bisa berbahaya. Maidina mengatakan, kekerasan seksual jelas didasari pada tidak adanya persetujuan seseorang melakukan hubungan dan persetujuan justru menjamin perlindungan atas integritas tubuh seseorang. Semua manusia tak punya hak pada kepemilikan terhadap manusia lain.

"Keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan hubungan seksual adalah kemerdekaan setiap orang. Begitulah konsep consent diakomodir. Untuk dapat terlibat dalam hubungan seksual, setiap orang harus memberikan persetujuannya," ujar dia.

Persetujuan, kata Maidina, harus "freely given" atau diberikan secara merdeka, bebas. Saat persetujuan didapat dari tekanan, tipuan, ancaman, atau paksaan hingga relasi kuasa, maka persetujuan itu tidak tercapai. Namun, dalam keadaan tertentu persetujuan bebas tidak dapat diberikan pada kasus orang yang tak sadarkan diri, atau anak berusia di bawah 18 tahun karena umurnya belum tepat untuk memberikan persetujuan.

"Ketika suatu hubungan seksual dilakukan tidak berbasis pada persetujuan atau pun persetujuan tidak didasarkan pada kondisi bebas atau merdeka, maka terjadi penyerangan terhadap integritas tubuh manusia yang dilindungi oleh negara," ujar Maidina.

Penyerangan tersebut, kata dia, harus dilarang dalam instrumen negara dan sudah melewati batas relasi normatif, misalnya perkawinan, karena saat sudah menikah pun tiap individu tetap punya integritas tubuh.

2. Menakar pemaksaan hubungan seksual dalam perkawinan

Editorial Team

Tonton lebih seru di