Kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah (Jateng) tentang pemakaian sarung batik/lurik kepada para Aparatur Sipil Negara (ASN) setiap Jumat menuai apresiasi. (Dok. Pemprov Jateng)
Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Wahid Abdurahman menilai, sarung batik adalah bagian dari budaya yang memiliki akar kuat dalam tradisi masyarakat di Jawa.
“Maka dengan memakai sarung batik setidaknya sekali dalam seminggu, ada sebuah harapan untuk membangun kepribadian dalam budaya,” kata dia.
Memang, lanjut dia, harus diakui memang ada nuansa religi dalam sarung yang selama ini erat dengan santri. Namun, menurutnya tradisi sarung tidak saja tumbuh di kalangan santri di Jawa, di Malaysia, bahkan di India pun sudah lama tumbuh.
“Tentu dengan berbagai corak dan motifnya,” kata dia.
Menurut dia, pemakaian sarung batik tidak jauh berbeda dengan peci hitam sebagai identitas kebangsaan yang telah melampaui sekat-sekat suku dan agama.
Bahkan dari sisi ekonomi, Wahid menghitung, jumlah ASN Pemprov Jawa Tengah baik PNS maupun PPPK per 10 September 2025 mencapai 49.877 orang. Dari jumlah itu, yang laki-laki sebanyak 26.270 orang.
“Kalau saja 90 persen dari ASN laki-laki tersebut membeli sarung batik masing-masing dua buah dengan harga setiap sarung batik Rp300 ribu, maka nilainya mencapai miliaran rupiah. Angka tersebut tentu akan semakin berlipat apabila jumlah sarung batik yang dibeli semakin banyak,” kata dia.
Apalagi, kata Wahid, mayoritas pelaku industri sarung batik di Jawa Tengah adalah pengusaha UMKM. Dengan demikian, lanjut dia, jika skenario ini lancar bukan mustahil dari Jawa Tengah kebangkitan industri sarung batik akan dimulai.