Livery masker pesawat Garuda Indonesia (Dok.Garuda Indonesia)
Pelaksanaan Tahap II tersebut terkait dugaan tindak pidana korupsi pengadaan 18 unit pesawat Sub 100 seater tipe jet kapasitas 90 seat jenis Bombardier CRJ-100 pada tahun 2011. Dalam rangkaian proses pengadaan pesawat CRJ-1000 tersebut, baik tahap perencanaan maupun tahap evaluasi, tidak sesuai dengan Prosedur Pengelolaan Armada (PPA) PT Garuda Indonesia (persero) Tbk.
“Dalam tahapan perencanaan yang dilakukan tersangka SA, tidak terdapat laporan analisa pasar, laporan rencana rute, laporan analisa kebutuhan pesawat, dan tidak terdapat rekomendasi BOD dan Persetujuan BOD. Lalu kemudian dalam tahap pengadaan pesawat evaluasi, dilakukan mendahului RJPP dan/atau RKAP dan tidak sesuai dengan konsep bisnis ‘full service airline’ PT Garuda Indonesia (persero) Tbk,” kata Sumedana.
ES selaku Direktur Utama, H selaku Direktur Teknik, Tersangka AW, Tersangka AB dan Tersangka SA bersama tim perseoran atau tim pengadaan, melakukan evaluasi dan menetapkan pemenang Bombardier CRJ-1000 secara tidak transparan, tidak konsisten dalam penetapan kriteria, dan tidak akuntabel dalam penetapan pemenang.
“Akibat proses pengadaan pesawat CRJ-1000 dan pengambilalihan pesawat ATR72-600 yang dilakukan tidak sesuai dengan PPA, prinsip-prinsip pengadaan BUMN dan prinsip business judgment rule, mengakibatkan performance pesawat selalu mengalami kerugian saat dioperasikan, sehingga menimbulkan kerugian keuangan Negara sebesar USD 609.814.504,00 atau nilai ekuivalen Rp8.819.747.171.352,” ujar Sumedana.
Terkini, Kejagung juga telah memeriksa dua saksi yakni WW, mantan VP Strategy and Network Planning PT Citilink Indonesia sekaligus Ketua Tim Pengadaan Pesawat Propeller PT Citilink Indonesia antara September 2012 sampai Desember 2012. Saksi kedua adalah AR, seorang pengacara pada firma hukum Hanafiah Ponggawa & Partner Law Firm.