Kemendikbudristek menggelar penguatan lembaga adat Osing di Banyuwangi (dok. Kemendikbudristek)
Wiwin menyebut, Masyarakat Adat (MA) Osing di Banyuwangi diyakini sebagai pewaris kultural Kerajaan Blambangan karena di masa senja kala kerajaan tersebut, wilayah Banyuwangi menjadi Ibu Kotanya.
Meski Banyuwangi dihuni oleh beragam etnis karena merupakan wilayah perlintasan niaga, namun Masyarakat Osing, menjadi aktor penting yang membentuk identitas Banyuwangi di saat ini.
"Meski tinggal di wilayah yang menjadi bagian dari Pulau Jawa, MA Osing punya karakteristik yang berbeda dengan orang Jawa, baik itu dalam bahasa, budaya, maupun adat istiadat," jelasnya.
Data resmi Badan Pusat Statistik tahun 2010 telah memasukkan Osing sebagai suku bangsa tersendiri, sebagai rumpun dari suku Jawa bersama-sama dengan Tengger, Bawean/ Boyan, Samin, Naga, dan Nagaring.
Wiwin melanjutkan, sejak terbentuk tahun 2015 AMAN Osing sudah memperjuangkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak MA Osing sebagai amanat Musda.
Namun demikian, di tahun 2017 yang dilahirkan adalah Perda Pelestarian Warisan Budaya dan Adat Istiadat di Banyuwangi, yang tidak menyebut secara eksplisit MA Osing sebagai subjek hukum.
Padahal itu poin penting yang diperjuangkan demi terlindunginya hak-hak yang melekat kepada MA Osing, termasuk hak berbudaya. Oleh karena itu, AMAN Osing saat ini kembali memperjuangkan Perda yang diinginkan.
Selain memperjuangkan Perda, pihaknya juga berupaya menguatkan dan melestarikan identitas budayanya melalui kegiatan-kegiatan organisasi sayapnya, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Osing dan Perempuan AMAN Osing, serta Sekolah Adat.
"Sejak tahun 2018 telah dilakukan preservasi mocoan Lontar Yusup. Pendokumentasian dan pelatihan olah makanan ritual Osing pada tahun 2019 juga dilakukan salah satunya untuk lebih memahami Osing indigenous food system," paparnya.