Jakarta, IDN Times - Praktisi keamanan siber dari CISReC, Pratama D. Persadha mendesak agar Kementerian Kesehatan meminta maaf kepada publik usai bocornya 1,3 juta data pengguna Electronic Health Alert Card (e-HAC). Ia menilai respons Kemenkes yang mendorong warga berpindah ke aplikasi e-HAC baru tak bisa menghapus fakta bahwa sudah terjadi kebocoran data pribadi.
Meski disebut oleh Kemenkes sebagai data lama juga tak bisa dipungkiri data-data yang sudah bocor itu adalah data valid.
"Ada 1,3 juta data yang bocor itu kan tidak hanya valid tetapi juga lengkap. Mulai dari hasil tes COVID-19, data pribadi penumpang penerbangan hingga ke staf e-HAC. Kalau sampai data-data ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang rugi siapa? Kan masyarakat lagi. Lalu, Kemenkes bisa apa, ya gak bisa ngapa-ngapain," ujar Pratama kepada media pada Kamis (2/9/2021).
Ia pun menambahkan 1,3 juta data yang bocor itu tidak bisa ditarik lagi. "Harusnya Kemenkes bijak meminta maaf lah ke masyarakat karena sistemnya gak kuat sehingga terjadi upaya peretasan atau kebocoran ini," katanya lagi.
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh praktis keamanan siber lainnya dari PT Vaksincom, Alfons Tanujaya. Menurutnya, dengan mendorong warga agar berpindah menggunakan aplikasi e-HAC yang baru di PeduliLindungi tidak menyelesaikan masalah.
"Mungkin Kemenkes ingin menyampaikan bahwa perlindungan data di PeduliLindungi sudah lebih baik. Tetapi, tetap tak menutupi fakta waktu dulu saat belum diintegrasikan di PeduliLindungi, datanya bocor," ujar Alfons ketika dihubungi IDN Times pada 31 Agustus 2021 lalu.
Ia meminta agar Kemenkes tidak membuat pernyataan yang menyesatkan publik. Justru, harus ditelusuri apakah ada dampak dari kebocoran data tersebut.
Namun, Alfons menilai kebocoran data kali ini tergolong sangat fatal. Mengapa?