Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG-20250722-WA0017.jpg
Ketua DPP PDIP Deddy Sitorus. (IDN Times/Amir Faisol)

Intinya sih...

  • PDIP nilai pilkada lewat DPRD tidak masuk akal

  • Pilkada langsung merupakan amanat reformasi

  • Pilkada tidak langsung konstitusional

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi II DPR RI, Deddy Sitorus menilai gagasan kepala daerah dipilih DPRD tidak masuk akal, apalagi alasan yang disampaikan hanya karena ongkos politik yang mahal.

Menurut dia, mahalnya ongkos politik yang dijadikan peluru untuk menggulirkan pilkada tidak langsung hanya alasan yang kurang mendasar.

“Soal biaya pilkada dan praktik politik uang di masyarakat, menurut saya alasan-alasan itu menunjukkan kurangnya kemauan berpikir dan ketidakmampuan melakukan self critic,” kata Deddy kepada wartawan, Rabu (31/12/2025).

1. Tingginya biaya pilkada lewat APBN bisa dicarikan solusinya

Anggota DPR RI Fraksi PDIP, Deddy Sitorus menyambut baik keputusan Eks Menko Polhukam Mahfud MD untuk bergabung menjadi bagain Komite Reformasi Polri. (IDN Times/Amir Faisol)

Lebih jauh, Deddy mengatakan, ihwal tingginya pembiayaan untuk pilkada oleh pemerintah masih bisa diminimalisir dengan penggabungan pilkada dan pemilihan legislatif (pileg).

“Misalnya menggabungkan pilkada dengan pemilihan DPRD seperti putusan MK (pemisahan pemilu nasional dengan daerah). Atau, menyatukan pilkada dengan Pilpres (pemisahan pemilu legislatif dengan eksekutif (termasuk pemilukada),” ungkapnya.

Deddy lantas mengingatkan, hulu dari biaya paslon yang tinggi dalam pilkada dimulai dari partai politik. Adanya kebiasaan mahar politik hingga kegagalan parpol melakukan kaderisasi internal dan rekrutmen calon kepala daerah mendorong budaya politik uang di lapangan.

2. Pilkada langsung merupakan amanat reformasi

Ketua DPP PDI Perjuangan, Deddy Sitorus (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Ia juga mengingatkan, Pilkada langsung adalah amanat reformasi yang tidak bisa asal diubah. Pilkada langsung telah banyak menghasilkan pemimpin-pemimpin hebat di tingkat nasional.

“Apakah semua itu mau diabaikan dengan pemilihan kepala daerah disetir oleh para oligarki,” kata dia.

Politikus PDIP itu meyakini, usulan Pilkada tidak langsung atau dipilih DPRD akan menimbulkan penolakan rakyat, seperti layaknya usulan revisi UU PIlkada yang sempat menuai demo besar.

“Saya yakin bahwa gagasan ini akan ditolak oleh rakyat Indonesia, sebagaimana rencana revisi UU Pilkada yang begitu massif penolakannya dengan gerakan darurat garuda biru kemarin,” kata dia.

3. Pilkada tidak langsung konstitusional

Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menyatakan pilkada dipilih DPRD masih konstitusional. (IDN Times/Amir Faisol)

Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PAN, Eddy Soeparno memandang, gagasan pilkada tidak langsung tidak melanggar konstitusi. Karena klausul keterwakilan diatur dalam sila keempat Pancasila.

Kendati, ia mengatakan, andaipun gagasan pilkada tidak langsung dinilai inkonstitusional, maka bisa digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Masih konstitusional. Andaikata pun misalkan saja kemudian ada perubahan terhadap undang-undang pelaksanaan Pemilu atau Pilkada, tentu bagi mereka yang merasa hal ini tidak konstitusional, ada jalurnya untuk membawa ini ke Mahkamah Konstitusi," kata Eddy, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (29/12/2025).

Eddy mengatakan, gagasan pilkada tidak langsung patut dipertimbangkan, menyusul tingginya praktik politik uang, politik dinasti, polik identitas yang menjadi persoalan sistemik dalam pilkada langsung. Ia pun mengakui, wacana ini akan menimbulkan gelombang penolakan serius karena kedaulatan rakyat dirampas.

Kendati, Eddy mengatakan, persoalan sistemik tersebut membawa dampak negatif terhadap pendidikan politik, karena rakyat disuguhi amplop dan/atau sembako untuk memilih calon kepala daerahnya.

"Kita ingin melihat bagaimana jika model itu kita kembalikan kepada model keterwakilan melalui DPRD, agar ekses-ekses tersebut bisa kemudian kita kurangi," kata Waketum PAN itu.

Editorial Team