JAKARTA, Indonesia —Pengajar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Basuki Wasis sebenarnya tak begitu mengenal mantan Gubernur Sulawesi Utara (Sultra) Nur Alam. Wasis dan Nur Alam praktis hanya sesekali bertemu muka di sidang-sidang Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor), Wasis sebagai saksi ahli, sedangkan Nur Alam sebagai terdakwa. Tidak ada yang personal.
Karena itu, ia tidak pernah mengira Nur Alam bakal ‘menyimpan dendam’. “Makanya, kita jadi khawatir. Kalau ahli digugat, ya sudah kita di kampus saja. Ngapain jadi saksi di persidangan,” ujar Wasis saat berbincang dengan Rappler di Kantor Yayasan Lembagai Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), kawasan Diponegoro, Jakarta, Senin (16/4).
Seperti diberitakan, hakim pengadilan Tipikor resmi memvonis Nur Alam dengan hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 1,2 miliar subsider enam bulan kurungan, akhir Maret lalu. Menurut hakim, Nur Alam terbukti menyalahgunakan wewenang saat memberikan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB) dan mengeluarkan izin Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi kepada perusahaan yang sama di Pulau Kabena.
Selain menerima suap dalam pemberian izin, Nur Alam terbukti merugikan negara sebesar Rp 1,5 triliun. Meskipun lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK, keputusan hakim langsung ditolak Nur Alam. Tak hanya mengajukan banding, Nur Alam pun memperkarakan saksi ahli yang dihadirkan di persidangan. Di PN Cibinong, Nur Alam menggugat kesaksian Basuki secara perdata dan menuntut ganti rugi materiil yang ia alami sebesar Rp 1,7 miliar dan kerugian immateril sebesar Rp 3 triliun.
Bagi Wasis, diminta bersaksi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di persidangan sudah menjadi hal biasa. Apalagi, itu bukan kali pertama dirinya menaksir kerugian negara dalam kasus korupsi yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Karena itu, Wasis pun tidak pernah mengira dirinya bakal diperkarakan karena menjalankan tugasnya sebagai akademisi.
“Itu pun metodologinya dari KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Sudah sekian lama kita gunakan di berbagai kasus. Selama ini, enggak ada masalah. Bukan hanya perusahaan, tapi juga masyarakat yang membakar hutan, dan sebagainya. Jadi sudah baku. KLHK yang buat, kita hanya memakai. Jadi aneh kalau sekarang digugat,” tuturnya.
Dalam kesaksiannya, Basuki menyebut, kerugian negara terkait kerusakan tanah dan lingkungan akibat penambangan nikel yang dilakukan PT AHB mencapai Rp 2,7 triliun. Bahkan, menurut Basuki, kerusakan akibat penambangan hampir tidak mungkin diperbaiki. “Kalau tanah itu dikeruk, itu jutaan tahun baru bisa kembali seperti semula. Dan itu kan itung-itungan yang sudah ada justifikasinya. Ada metode ilmiahnya,” ujar dia.