Jakarta, IDN Times - Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, mendesak agar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman sebaiknya mundur usai menikahi adik Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada Mei 2022 nanti.
Feri menilai, ada potensi kepentingan yang sangat besar seandainya Anwar tetap bertahan menjadi hakim MK, sementara ia sudah menjadi bagian dari keluarga presiden.
"Kan kalau dilihat dalam proses pengujian undang-undang, seluruh undang-undang pasti melibatkan presiden. Otomatis presiden menjadi pihak yang ikut digugat karena dalam proses pembuatannya, UU dibuat atas persetujuan bersama DPR dengan presiden, baik langsung dan tidak langsung," ujar Feri ketika dihubungi IDN Times melalui telepon, Rabu 23 Maret 2022 lalu.
Ia memberi contoh, seandainya ada partai politik yang ingin dibubarkan oleh pemerintah, maka presiden akan menjadi pihak pemohon. Bila ada yang mengajukan gugatan soal sengketa kewenangan lembaga negara, maka presiden berpotensi menjadi pihak termohon.
Seandainya menurut pendapat DPR presiden dianggap melanggar hukum, maka presiden akan menjadi pihak termohon. "Jadi, antara presiden dan MK sudah pasti akan ada relasi sehingga menimbulkan konflik kepentingan usai terjadinya pernikahan ini," kata dia.
Lagipula, kata Feri, sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2020 mengenai Mahkamah Konstitusi, tertulis hakim diwajibkan mengundurkan diri seandainya hakim tersebut berkaitan dengan pihak yang berperkara di persidangan. Sementara, dalam kasus Anwar, tidak mungkin dalam semua persidangan pengujian UU, ia harus mundur.
"Kalau enam bulan saja dia absen di semua persidangan pengujian UU, toh dia harus berhenti juga. Kan cinta terhadap MK berarti juga harus melindungi marwah MK," tuturnya lagi.
Apa yang akan terjadi seandainya Anwar memilih tetap menjadi Ketua MK dan menjadi bagian dari keluarga presiden?