Jakarta, IDN Times - Kewajiban bagi calon penumpang transportasi umum untuk melakukan rapid test atau tes PCR digugat oleh warga Surabaya, Muhammad Sholeh ke Mahkamah Agung. Ia menggugat surat edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 nomor 7 tahun 2020 mengenai kriteria dan persyaratan orang dalam masa adaptasi kebiasaan baru menuju masyarakat produktif dan aman corona virus disease 2019 (COVID-19).
Ia menilai Gugus Tugas sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk mengatur masyarakat. Gugus tugas dinilai sebatas tim pengarah.
"Untuk transportasi kan leading sectornya Kementerian Perhubungan. Mestinya Kementerian Perhubungan yang menindak lanjuti dari surat edaran Gugus Tugas itu dengan membuat kewajiban untuk rapid test. Tetapi, ini kan masalahnya di dalam aturan yang dirilis oleh Kemenhub tidak mengatur rapid test," ungkap Sholeh ketika dihubungi oleh IDN Times melalui telepon pada Senin (29/6).
Kebijakan kontradiktif itu, katanya lagi, tidak hanya terjadi dengan Kemenhub, melainkan juga Kementerian Kesehatan.
Di dalam surat edaran Gugus Tugas nomor 7 tahun 2020 itu, kriteria dan persyaratan bagi calon penumpang transportasi umum ada di poin F. Di poin F2b tertulis "setiap individu yang melakukan perjalanan orang dengan transportasi umum darat, kereta api, laut dan udara harus memenuhi persyaratan yakni satu menunjukkan surat keterangan uji PCR dengan hasil negatif berlaku selama tujuh hari atau surat keterangan rapid test dengan hasil non reaktif yang berlaku tiga hari saat keberangkatan."
Namun, pada kenyataannya calon penumpang yang harus dimintai surat keterangan hasil tes PCR atau rapid itu hanya pengguna pesawat terbang, kapal laut dan kereta. Pengguna bus tidak diminta.
Selain itu, berdasarkan surat edaran dari Menteri Kesehatan, tidak ada poin yang mewajibkan calon penumpang ikut rapid test atau PCR.
"Ketentuannya hanya sebatas jaga jarak, pakai masker dan cuci tangan," ujar pria yang sehari-hari bekerja sebagai pengacara itu.
Lalu, optimistiskah Sholeh gugatannya diterima oleh MA?