Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Times/Fitria Madia

Surabaya, IDN Times - Warga eks lokalisasi Dolly bergejolak. Mereka menggelar aksi sebanyak dua kali depan Pengadilan Negeri kota Surabaya pada Kamis (30/8) dan Jumat (31/8). Aksi mereka bertujuan mendesak hakim Pengadilan Negeri untuk menolak gugatan sekelompok orang yang mengatasnamakan diri sebagai warga Dolly yang menuntut ganti rugi sebesar Rp2,7 miliar kepada pemerintah kota Surabaya.

Beberapa waktu lalu, ratusan warga mengajukan gugatan kepada Pemkot Surabaya atas perampasan hak ekonomi pasca penutupan lokalisasi Dolly. Mereka mengatakan bahwa Pemkot Surabaya tidak menyentuh warga Dolly dan tidak memberikan ganti rugi lapangan pekerjaan yang ditutup. Mereka juga merasa didiskriminasi karena pelarangan pembukaan rumah musik di kawasan gang Dolly. Oleh karena itu, melalui Pengadilan Negeri kota Surabaya, kelompok tersebut menuntut Pemkot Surabaya memberikan ganti rugi sebesar Rp2,7 miliar dan melegalkan rumah musik di gang Dolly.

1. Khawatir Dolly hidup lagi

IDN Times/Fitria Madia

Korlap aksi, Kurnia Cahyanto (41) mengatakan bahwa sebenarnya ketakutan terbesar warga kawasan eks lokalisasi Dolly adalah bangkitnya kembali lokalisasi Dolly. "Kami selama empat tahun ini sudah hidup tenang tanpa perlu resah dengan orang mabuk-mabukan atau prostitusi. Kami tidak mau lokalisasi Dolly bangkit lagi," ujarnya.

Bangkitnya lokalisasi ini dapat terjadi apabila tuntutan Rp2,7 miliar dan legalitas rumah musik dikabulkan. Pasalnya, ujar Kurnia, para penggugat merupakan mereka yang menginginkan rumah musik bangkit kembali di gang Dolly. Ketika rumah musik bangkit kembali, para mantan investor akan masuk lagi ke wilayah Dolly. "Nanti bisa-bisa ketenangan warga saat ini terusik lagi. Kita hidup tidak tenang di perkampungan kalau ada rumah musik di tengah-tengah kampung," jelasnya.

2. Dolly barometer Jatim

IDN Times/Fitria Madia

Selain itu, ketua RT 5 RW 3, Nirwono Supriadi mengatakan dampak panjang jika sampai tuntutan ini dikabulkan. Jika Dolly sampai menunjukkan rambu-rambu akan bangkit lagi, maka ini akan berpengaruh ke daerah-daerah bekas lokalisasi lainnya baik di Surabaya bahkan se-Jatim. "Dolly itu terbesar se-Asia Tenggara. Kalau sampai kejadian, pasti dampaknya akan luas. Karena Dolly itu barometer Jatim," terangnya.

3. Tuntutan tidak mewakili warga

IDN Times/Fitria Madia

Selain itu, Kurnia menjelaskan bahwa tuntutan yang dilayangkan tidak berhak mengatasnamakan diri sebagai suara warga terdampak proses penutupan lokalisasi Dolly. Ia mengatakan bahwa massa aksi yang menuntut pemkot tersebut kebanyakan bukan warga asli Putat Jaya. "Kalau pun ada, itu hanya sebagian dan mereka yang punya kepentingan demi perut mereka sendiri. Bukan suara warga asli," tegasnya.

Oleh karena itu, pada aksi yang dipimpin Kurnia, massa aksi menunjukkan KTP dan membuka masker mereka sebagai bukti bahwa mereka merupakan warga asli. Hal ini berkebalikan dengan aksi yang dilakukan massa penuntut Pemkot di mana seluruh massa mengenakan masker.

4. Pemkot sudah mengayomi warga dengan baik

IDN Times/Fitria Madia

Kurnia dan warga lainnya menegaskan bahwa Pemkot sudah bertanggungjawab atas penutupan eks lokalisasi Dolly. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya berbagai UMKM rumahan di kampung-kampung seperti industri sandal, sepatu, batik, tempe, dan kerupuk. "Kalau mereka bilang tidak pernah disentuh oleh Pemkot, kemana saja mereka empat tahun ini? Ini sandal dan batik sampai kekurangan tenaga," terangnya.

Selain permasalahan ekonomi, warga merasa puas karena Pemkot memberikan akses biaya pendidikan gratis untuk anak-anak warga Putat Jata. Selain itu, beberapa warga juga diberikan lapangan pekerjaan. "Warga Putat Jaya itu istimewa. Menuntut uang Rp2,7 miliar itu buat perutnya siapa?" tutupnya.

Editorial Team