IDN Times/Fariz Fardianto
Masjid Agung Demak dibangun oleh sembilan wali atau yang masyhur disebut Walisongo pada abad ke-14. Para wali konon membangun masjid ini hanya dalam semalam. Marbot Masjid Agung Demak, Ahmad Qoif, mengungkapkan, semaan Quran merupakan satu dari sekian banyak tradisi era Walisongo yang masih lestari hingga kini.
Selain tradisi, Ahmad menuturkan, bentuk bangunan masjid juga terus dirawat, termasuk empat pilar kokoh yang menopang atap bangunan. “Para wali menyebutnya pilar soko tatal, tingginya 17 meter yang mengandung artian 17 rakaat. Soko tatal itu dulunya digotong langsung oleh empat anggota Walisongo yaitu Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati serta Sunan Bonang," ujar Ahmad sambil membawa Rappler berkeliling.
Soko tatal, kata Ahmad, juga relatif masih utuh. Hanya saja, sebuah pilar kayu milik Sunan Kalijaga harus dipotong sedikit lantaran beberapa tahun lalu sempat keropos. Ketika itu, pihak masjid harus pontang-panting mencari jenis kayu yang hampir mirip untuk dipasang pada pilar Sunan Kalijaga.
"Akhirnya dapat diganti kayu berusia satu abad pada 1985 silam. Termasuk penggantian sirapnya yang berjumlah 70 ribu biji juga diganti dari bahan baru yang dananya didapat dari bantuan Organisasi Konferensi Islam (OKI)," cetus pria yang sudah 24 tahun menjadi marbot itu.
Ahmad menuturkan, bangunan Masjid Agung Demak kaya akan simbol. Atap bertingkat tiga misalnya, merupakan simbol ajaran Islam yang berarti iman, Islam, dan ihsan (kesempurnaan).
“Keaslian bangunan kholwat untuk tempat i'tikaf dan salat tahajud pun masih terjaga. Kayu-kayunya masih terawat dengan baik,” ujarnya.
Salah satu simbol yang paling menarik dari Masjid Agung Demak ialah lambang petir berkepala naga yang berada di pintu depan masjid. Menurut Kepala Museum Masjid Demak Iswayudin, petir berkepala naga itu konon merupakan sosok makhluk gaib yang dijumpai Sunan Bonang ketika bertamu ke masjid.
Sunan Bonang sempat memasukan makhluk gaib itu dalam botol. Syahdan, ia menuangkan perwujudan petir itu pada sebuah lukisan. "Tetapi karena kasihan lihat petir yang meronta-ronta maka dilepaskan oleh Sunan Bonang. Hasil lukisannya berupa kepala naga. Masyarakat muslim lokal melihatnya sebagai bentuk pengingat orang yang masuk masjid untuk tidak bicara keras-keras," tuturnya.
Menurut Iswayudin, Masjid Demak merupakan satu-satunya jejak peninggalan Raden Patah tatkala memimpin Kerajaan Demak pada abad ke-19. Bahkan, masjid yang dilengkapi beragam benda cagar budaya itu konon dijadikan Raden Patah sebagai ‘kantor’ pusat pemerintahannya.
“Raden Patah membuktikan ajaran Rasulullah bahwa menjadi raja itu tak butuh keraton. Maka, masjid inilah yang dulu jadi pusat pemerintahannya. Tiap kali ada pertemuan dengan Walisongo, beliau mengadakannya di dalam masjid. Raden Patah kemudian tinggalnya di rumah-rumah penduduk sekitar sampai akhir hayatnya," ujar dia.