Kisah Relawan yang Cabut Namanya Dari Laporan TGPF Mei 1998

Jakarta, IDN Times - Peristiwa Mei 1998 memang sudah 24 tahun terjadi, tapi masih melekat di kepala para relawan yang terus memperjuangkan hak korban pemerkosaan.
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah Indonesia telah mengonfirmasi bahwa setidaknya ada 85 tindak kekerasan seksual massal terhadap perempuan Tionghoa, 52 kasus di antaranya adalah pemerkosaan yang dilakukan secara berkelompok (gang rape).
Nyatanya, tak semua tindak perkosaan saat itu bisa didokumentasikan TGPF, sehingga angka sesungguhnya kemungkinan lebih banyak dari yang dilaporkan. Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan Ita, Fatia Nadia, bahkan telah mengundurkan diri dari sejak permulaan.
Dalam diskusi yang digelar oleh FEH Universitas Ciputra, yang bertajuk Melawan Kekerasan Seksual (Mengenang Tragedi Mei'98), Ita menjelaskan alasannya tak tergabung dalam penyusunan dokumen itu.
Dia mengatakan, seorang Jenderal Polisi, Mayjen Pol. Drs, Da’i Bachtiar yang namanya juga tertulis dalam laporan TGPF memintanya membawa saksi korban pemerkosaan Mei 1998.
“Saya didesak sekali untuk bisa membawa saksi korban, kalau tidak ada saksi korban itu tidak ada perkosaan. Sementara menurut saya, para korban perkosaan ini mereka adalah Tionghoa, yang sudah menjadi kelas dua sebagai perempuan,” kata dia pada Senin (17/5/2022).
1. Korban pemerkosaan apalagi perempuan Tionghoa bukan pameran
Desakan membawa saksi korban pemerkosaan yang merupakan perempuan Tionghoa ini menurut Ita adalah salah. Korban pemerkosaan tidak seharusnya dipamerkan ke publik.
“Tetapi bagaimana kita melindungi korban, bagaimana kita menjaga korban dan di situ banyak kita harus percaya pada pendamping korban bahwa memang terjadi perkosaan,” ujarnya.