Ilustrasi itikaf dan qiyamul lail di Masjid Fathullah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (IDN Times/Vanny El-Rahman)
Tidak terasa kami telah berbincang selama 20 menit. Sapto tampak lelah. Beberapa kali dia meregangkan bahu dan pundaknya.
Sapto mengakui bila ketunanetraannya adalah kekurangan. Tapi dia enggan menjadikannya sebagai batasan. Termasuk tidak ingin menyia-nyiakan 10 malam terakhir Ramadan, momen yang dijanjikan Allah SWT penuh dengan kebaikan, ampunan, dan pahala.
“Itikaf sering di masjid ini (Masjid Fathullah UIN Syarif Hidayatullah), tapi suka pindah-pindah masjid juga,” imbuhnya. Dia tidak memiliki amalan khusus ketika beritikaf, kecuali memperbanyak bacaan Al-Qur'an, salat, selawat, dan tasbih.
Pada malam yang penuh kemuliaan, Sapto berharap agar semakin banyak lembaga pendidikan yang mengajarkan rekan-rekan tunantera untuk membaca Al-Qur'an braille. Sebab, tidak sedikit Al-Qur'an yang dianggurkan, hanya karena para tunanetra belum mempelajarinya.
“Kalau Al-Qur'an alhamdulillah sudah banyak, gak seperti dulu tahun 90-an. Mudah-mudahan ke depan semakin banyak majelis taklim untuk tunanetra dan lembaga pembelajaran. Agar Al-Qur'an yang tercetak betul-betul bermanfaat,” harap dia.
Dia juga menyampaikan dua hadis yang menjadi motivasinya untuk mendalami Al-Qur'an.
“Sabda Rasul, ‘bacalah Al-Qur'an karena akan memberi syafaat bagi orang-orang yang membacanya.’ Di hadis lain dikatakan ‘barang siapa yang membaca satu huruf Al-Qur'an, akan dibalas satu kebaikan, dan satu kebaikan akan dilipatgandakan menjadi 10 kali lipat.’ Semoga dua hadis itu menjadi motivasi kita,” tutur dia.
Aku pun sempat bertanya, apakah pernah ada satu titik kejenuhan ketika membaca Al-Qur'an dengan segala keterbatasannya.
Sapto pun menjawab, “jenuh ya pernah, karena sulit cari Al-Qur'an. Tapi waktu itu walau saya pengen banget membaca, saya tidak terlalu serius mencarinya. Jadi kalau ada ya Alhamdulillah.”
"Kalau ditanya apakah membaca Al-Qur'an memberi ketenagan dan menghilangkan kejenuhan atau kegelisahan, ya pertanyaannya, siapa sih yang tidak tenang membaca Al-Qur'an?” lanjutnya.
Pembicaraan kami malam itu ditutup oleh tarhim dari bilal, yang menandakan waktu salat tasbih akan segera dimulai. Pukul 01.00 WIB. Saya berpamitan dengan Sapto, sembari meminta doa agar diberi semangat mempelajari dan mengajarkan Al-Qur'an sama seperti dirinya.
Singkat cerita, pukul 03.00 WIB, memasuki waktu sahur, saya berniat untuk angkat kaki dari masjid. Saya menghampiri Sapto untuk mengajaknya pulang bersama, karena kebetulan rumah kami sangat dekat. Paling banter hanya terpaut 15 menit.
Waktu itu Sapto sudah berpindah tempat duduk, tapi tasnya masih di tempat semula. Dia sedang menikmati sekotak nasi santap sahur yang dibagikan panitia. Ketika aku menghampirinya, dia sedang memakan jeruk. Kulit kupasannya diletakkan tepat di sebelah kanan, dekat pahanya. Sangat rapi. Tidak bercecer.
“Oh gak usah terima kasih, saya mau sekalian salat subuh,” jawabnya, seraya melepas senyum.
Perbincangan dengan Sapto menjadi 1 jam yang sangat berharga. Malam itu saya dicamuk beragam emosi. Malu. Bahagia. Terharu. Sedih.
Dalam perjalanan pulang, saya bergumam, mungkin saja Sapto tidak seperti saya dan kebanyakan orang yang bisa melihat keindahan dunia. Tetapi, saya justru khawatir tidak bisa seperti Sapto di akhirat kelak, sebagai sosok yang akan melihat indahnya surga. Betapa tidak, ketika mata ini menjadi salah satu sumber maksiat, rupanya Allah menjaga pengelihatan Sapto hingga akhir hayatnya kelak.