Buleleng, IDN Times- Kemilau matahari sore menyambut kedatanganku di Terminal Sukasada, Rabu (7/8). Pukul 16.17 WITA, sang baskara hampir paripurna melaksanakan tugasnya. Begitu aku turun dari Elf Suzuki yang bertolak dari Denpasar tiga jam sebelumnya, segerombolan ojek pangkalan hingga penyedia angkutan umum mulai berebut menawarkan jasanya. Gemuruh gaduh petang itu lazim aku rasakan di berbagai terminal.
“Mau kemana dek?” tanya seorang tukang ojek dengan aksen Bali-nya.
“Mau ke rumah ibunya Sukarno yang di Buleleng,” jawabku sembari memikul tas yang belum sempat aku gendong.
Aku memiliki keyakinan bila penduduk sekitar mengetahui lokasinya. Sebab, selain menjadi salah satu tempat bersejarah di Buleleng, ancer-ancernya hanya terpaut 10 menit dari terminal ketika aku memeriksa Google Maps.
Namun, balasan yang ia lontarkan justru mengejutkanku yang baru pertama kali melawat ke Bali Utara.
“Ini udah di Buleleng, tapi itu di mana ya?” Bukannya tanpa usaha, kalimat tersebut ia utarakan setelah bertanya pada sekumpulan pemuda yang tengah asik bermain biliar. Sayangnya mereka juga tidak tahu.
Akhirnya, bermodalkan potret gubuk padi dua tingkat yang aku peroleh di internet, kami mulai mengarungi Paket Agung. Hanya itu informasi detail yang bisa aku dapat. Perkara nomor dan patokan rumahnya masih bias.
Setelah memasuki Kelurahan yang dituju, sekitar 15 menit dari terminal, tukang ojek yang aku tumpangi sempat bertanya pada penduduk sekitar. Alih-alih dikenal sebagai rumah ibunya Sukarno, warga yang ia tanya lebih mengenalnya sebagai rumah neneknya Megawati. Itu pun warga kesekian yang sudah ia tanyai.
Pencarian kami akhirnya berujung di Jalan Gunung Batur 24, Kelurahan Paket Agung, Buleleng. Tidak ada plang khusus yang menandakan bilamana tanah seluas empat hektare itu sarat akan sejarah. Hanya gapura dari bata merah dengan payung Bali di kanan-kirinya serta baner bertuliskan “Om Swastyastu” yang menjadi penandanya. Secara kasat mata, tidak ada yang istimewa di tempat ini.
Begitu menembus gapura, aku tidak bisa mengenali bagian mana yang memiliki nilai historis. Aku pun sedikit ragu, apakah ini tempat yang aku cari? Begitu masuk lebih dalam, aku menemukan gubuk padi dua tingkat. Bangunan itulah yang setidaknya aku kenali dari internet, menandakan bahwa aku sudah tiba.
Ada banyak rumah dan tidak semuanya menjadi bagian hidup ibunda sang Proklamator. Tidak ada monumen atau simbol khusus. Tidak ada pemandu kecuali keluarga, itu pun bila mereka sedang berjaga. Jika saja bukan keluarga yang masih menjaga sebagian orisinalitasnya, maka tidak menutup kemungkinan griya tersebut hilang ditelan ruang dan waktu.
Amat disayangkan bila bangsa Indonesia melupakan nilai sejarah tempat tersebut. Padahal, kawasan itulah yang menjadi saksi bisu akan lahirnya “ibu bangsa”. Kelak, di sana pula “rahim nasionalisme” untuk pertama kalinya hadir di Bumi Nusantara. Sungguh tidak ada yang menduga, Paket Agung pada 1881 melahirkan perempuan bernama Ida Ayu Nyoman Rai yang akan mengubah haluan bangsa kala Indonesia masih dalam kangkangan penjajah.
