Bekas sayatan pisau yang membekas di tangan Ika, seorang PRT asal Semarang (Dok. Istimewa)
Sebenarnya, masuknya Dewi ke dalam penjara belum diketahui oleh orangtua dan saudaranya yang tinggal di Sumatera Utara. Dewi mengaku memang tidak ingin memberitahu keluarganya. Sebab, ia tak mau menyusahkan mereka dan merasa bersalah terlebih karena sudah terlibat dalam kasus narkoba.
"Gak ada keluarga yang tahu. Hanya keponakanku saja. Itupun aku larang dia buat ngasih tahu keluarga karena aku takut keluargaku bakal kepikiran," ucapnya sambil meneteskan air mata.
Orangtua Dewi tak pernah menerima perubahan sikap dan penampilannya yang mirip perempuan. "Bagi mereka kalau aku seperti ini, aku diharamkan pijak rumah. Kadang aku melihat kawan yang sudah diterima keluarganya, terpikir sama aku kapan sih aku bisa seperti dia," kata Dewi mengusap air matanya.
Kebimbangan Dewi mengenai orientasi seksualnya itu sudah dirasakan sejak ia kelas 3 Sekolah Dasar (SD). "Aku pakai rok ke sekolah. Guru agama dan kepala sekolah sampai datang ke rumah bilangin sama orangtua aku. Tapi aku tidak mau ke sekolah kalau tidak pakai rok," tuturnya.
Karena hal itu, Dewi selalu dimarahi oleh orangtuanya. Meski begitu, Dewi tak pernah dendam. Hingga umur 14 tahun, Dewi tetap membantu orangtuanya bekerja seperti menanam padi dan menggembala kambing.
Pernah suatu waktu, Dewi menghadiri pesta tetangganya. Di sana ia melihat seorang transgender yang menjadi perias pengantin. Dewi terkesan melihat transgender yang tak menutupi jati dirinya dan bisa menghasilkan rupiah dari kemampuannya.
"Jadi di kampung aku itu ada juga bencong (transgender) kerjanya rias pengantin, bahkan dia udah ganti kelamin. Aku tertarik, ya udah aku ikutin lah dia," katanya.
Semenjak itu, Dewi sering mendatangi transgender tersebut dan membantunya merias pengantin. Di sanalah Dewi mendapatkan kemampuannya. Selain itu, karena suaranya yang cukup merdu, Dewi kemudian ditawarkan untuk menyanyi. Jadi, selain merias pengantin, Dewi juga bersenandung.
Di saat itulah Dewi mulai merasa nyaman menjadi seorang transpuan dan menemukan jati dirinya yang sebenarnya. Ia mulai memanjangkan rambutnya, menggunakan make up dan mengenakan pakaian perempuan.
"Ada orgen di kampung, jadi pemilik orgen ngajak aku nyanyi digaji Rp50 ribu. Di sana aku mulai panjangin rambut. Ketahuan sama mendiang bapak, sebenarnya bapak aku welcome (terbuka) orangnya, hanya dia malu. Asal aku nyanyi, bapak aku di bawah jualan es serut. Sebenarnya dia sempat bilang tak masalah, tapi karena dia orang kampung ya malu aku begini," sebutnya.
Karena keputusannya mengubah penampilan menjadi perempuan itulah orang tua Dewi jadi naik pitam. Bahkan ia mengaku pernah disiksa oleh orangtuanya supaya ia kembali berpenampilan laki-laki. Ia mengaku pernah diikat orangtuanya di pohon nangka berhari-hari agar ia bisa bersikap 'jantan'. Tapi batinnya tetap mengatakan tidak.
"Aku tetap menolak dipaksa menjadi lelaki. Aku sempat berusaha, main dengan teman cowok dan diajak kenalan dengan cewek. Saat cewek itu suka sama aku, tapi aku malah suka dengan temanku yang cowok ini," ucapnya.
Hingga akhirnya, Dewi memutuskan untuk merantau keluar dari kampung halamannya saat ia berumur 18 tahun. Dewi bekerja di orgen tunggal keliling kampung sebagai pemandu lagu di acara perkawinan.
"Aku merantau ke Riau tujuh tahun lalu. Selain nyanyi, aku juga bisa make up pengantin. Aku belajar make up itu ya lihat dari medsos (media sosial). Bekerja sama dengan wedding organizer," ujarnya.
Dari pekerjaannya tersebut Dewi dapat bertahan hidup di perantauan. Sekali merias pengantin, ia diberi upah 500 ribu hingga Rp1,5 juta. Begitu juga kalau dia menjadi pemandu lagu.