Surabaya, IDN Times - Senja mulai menyapa ketika Ju’i sibuk membakar daun-daun kering yang telah dikumpulkannya. Mengenakan peci bulat dan kaos abu lengan pendek, lelaki 66 tahun itu berjaga agar api yang disulutnya tidak menyebar ke daerah sekitarnya.
Ju’i adalah tukang kebun di Cagar Budaya Botoputih, Surabaya, Jawa Timur. "Jadi tukang kebun di sini sejak kerusuhan Soeharto. Sekitar tahun 1998 lah,” kata Ju’i kepadaku, Selasa (19/2).
Aku bertemu dengannya di penghujung senja. Kala itu jarum jam menunjukkan pukul 17.01 WIB. Langit sudah membiru gelap. Senandung tarhim (pujian kepada Allah dan Rasul) bersautan di langit Kota Pahlawan. Para lelaki yang menggunakan sarung dan peci hilir mudik menuju rumah ibadah. Pertemuanku dengannya menjadi sinar bagi harapan yang perlahan sudah meredup.
“Pak, kalau makam Ibu Soeharsikin tahu gak?” tanyaku kepada Ju’i. Dia segera meletakkan sapu lidi yang dipegangnya. Dari sekian tukang kebun yang berada di sana, hanya Ju’i yang tahu keberadaan makam yang aku cari. Lebih dari 30 menit untuk menemukan satu dari ratusan makam yang ada di sana.
“Oh kalau Soeharsikin di sana. Ayo saya anterin,” kata dia sembari mengajakku.