Operasi gaktib dan yustisi 2025 yang digelar di Lapangan Prima, Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur. (Dokumentasi Puspen TNI)
Komnas HAM mengungkapkan dua sorotan terhadap RUU TNI. Salah satunya adalah mengenai potensi risiko munculnya dwifungsi TNI melalui usulan perluasan jabatan sipilbagi prajurit aktif.
"Pertama, usulan perluasan jabatan sipil bagi prajurit aktif. Perubahan Pasal 47 ayat 2 berisiko menghidupkan kembali praktik dwifungsi TNI," ujar Koordinator Sub Komisi Pemajuan HAM Anis Hidayah.
Dwifungsi TNI bertentangan dengan TAP MPR 7 Tahun 2000 tentang peran TNI dan Polri serta prinsip supremasi sipil dalam negara demokrasi. Menurutnya, Tap MPR tersebut menegaskan TNI sebagai bagian dari rakyat demi membela kepentingan negara.
"Namun dalam perkembangan pembahasan RUU TNI saat ini, Komnas HAM mencatat adanya perubahan yang memungkinkan prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada 16 kementerian/lembaga sipil. Selain itu, adanya penagturan bahwa presiden ke depan bisa membuka ruang penempatan prajurit TNI aktif di sejumlah kementerian lainnya," ujarnya.
Komnas HAM juga menyoroti perpanjangan usia pensiun prajurit TNI. Anis menilai hal ini berisiko menyebabkan stagnansi regenerasi kepemimpinan, inefisiensi anggaran, hingga penumpukan personel tanpa kejelasan penempatan tugas.
"Selain itu, alasan jaminan kesejahteraan prajurit tidak dapat dijawab semata2 dengan perpanjangan usia prajurit aktif, tetapi melalui penguatan jaminan kesejahteraan yang lebih komprehensif, mulai dari penggajian dan tunjangan lainnya," ujarnya.