Jakarta, IDN Times - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memaparkan enam indikasi pelanggaran HAM dalam konflik agraria di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Salah satunya terkait penggunaan gas air mata oleh aparat penegak hukum (APH) dalam aksi kerusuhan yang terjadi pada 7 September 2023 lalu.
Bahkan, akibat penggunaan gas air mata tersebut menyebabkan bayi berusia delapan bulan mengalami sesak napas yang hebat. Kondisi bayi berinisial A itu kini diketahui telah pulih paska kerusuhan yang jadi sorotan dunia internasional tersebut.
"Indikasi pelanggaran HAM pertama terkait rasa aman dan bebas dari intimidasi. Ada penggunaan kekuatan berlebihan atau excessive use of force. Ada 1.000 aparat. Lalu, penggunaan gas air mata yang tidak terukur, sehingga menyebabkan jatuhnya korban. Itu harus diakui memang ada," ungkap Koordinator Sub Komisi Penegakan HAM, Uli Parulian Sihombing menjawab pertanyaan IDN Times dalam pemberian keterangan pers pada Jumat (22/9/2023) di kantor Komnas HAM.
Ia menambahkan sesuai dengan Peraturan Kapolri (Perkap) nomor 8 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dan tindakan personel kepolisian. Di dalam Perkap itu berisi penggunaan senjata api dan gas air mata harus menjadi opsi terakhir bila situasi yang dihadapi menjadi kacau.
"Selain itu, di dalam Perkap juga tertulis dilarang menggunakan kekerasan saat bertugas, kecuali untuk mencegah terjadinya tindak kejahatan," tutur dia.
Indikasi pelanggaran HAM kedua yaitu hak untuk memperoleh keadilan. Komnas HAM menemukan ada pembatasan akses bantuan hukum bagi 8 tersangka yang sudah ditangguhkan penahanannya.
Indikasi pelanggaran HAM ketiga yaitu hak atas tempat tinggal yang layak. "Ini terkait rencana relokasi. Rencana relokasi berdampak secara langsung terhadap perkampungan Melayu kuno di Pulau Rempang," katanya.
Lalu, bagaimana nasib warga Rempang yang bakal diminta hengkang oleh BP Batam pada 28 September 2023?