Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IEA. Anggota IEA berkumpul di basecamp Jalan Laksda Adi Sucipto Jumat, 20 April 2018. Foto oleh Dyah Pitaloka/Rappler

Oleh: Dyah Ayu Pitaloka

YOGYAKARTA, Indonesia  — Jumat petang sebelum Isya seorang anggota Indonesian Escorting Ambulance (IEA) Wilayah Yogyakarta terlihat datang dan memarkir motornya di teras toko otomotif di tepi Jalan Laksda Adisucipto, Yogyakarta. Remaja berusia 18 tahun itu memarkir motor dengan mengenakan rompi khusus dengan warna terang, celana jins, bersepatu serta mengenakan sarung tangan.

Berikutnya, satu persatu anggota IEA berdatangan di tempat yang sama hingga nanti bubar hampir tengah malam. Basecamp kedua ada di Jalan Monjali. Mereka bersiaga menyediakan tenaga untuk membuka jalan bagi ambulans yang terjebak kemacetan Yogyakarta ketika sedang mengantar atau menjemput pasien.

Tak kebal teguran polisi

Sejumlah peralatan kemudian disiagakan. Ada smartphone yang digunakan untuk komunikasi dengan jejaring IEA di seluruh Indonesia dan komunikasi dengan kelompok sopir ambulans. Lewat smartphone juga, anggota IEA berkoordinasi tentang pantauan lalu lintas dan titik-titik kemacetan di sepanjang rute. Peralatan seperti sirene sudah tidak dipakai lantaran ditegur oleh aparat kepolisian. Lampu strobo merah dan biru juga mulai hilang karena sebab yang sama.

Meskipun relawan mengawal ambulans dengan tujuan kemanusiaan, anggota IEA tak bebas dari teguran aparat pengatur lalu lintas di jalan. “Ketika mengawal ambulans beberapa teman sempat dihentikan polisi. Kami ditegur karena membunyikan sirene dan lampu strobo. Jika ditegur ya kami berhenti tetapi ambulans tetap jalan terus,” kata Nadzim Putra, Koordinator IEA wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ditemui Rappler Jumat petang 20 April 2018.

Bagi Nadzim dan sekitar 23 anggota IEA DIY yang lain, sirene, stick lamp dan strobo sebenarnya penting ketika membuka jalan ditengah padatnya jalan raya yang sering menyulitkan ambulans untuk lewat. Ia menuturkan, setiap ambulans yang akan lewat atau meminta bantuan telah menghubungi mereka lewat whatsapp, meskipun ada juga yang langsung ditemui di jalan.

Setelah mengetahui rute dan kegawatan pasien, tiga anggota kemudian disiapkan untuk mengawal. Motor pertama bertugas memberitahu pengguna jalan lain untuk menepi karena ada ambulans yang segera lewat. Ia berada sekitar 10 meter di depan ambulans. Motor ke dua kemudian membuka jalan dan menjaga agar terdapat ruang untuk ambulans lewat. Ia berada di lapis ke dua motor pertama. Motor ke tiga berada tepat di depan ambulans berfungsi sebagai pemandu ambulans agar melewati jalan yang sudah disiapkan oleh motor pertama dan ke dua.

Pada kondisi jalan raya yang padat, mereka mendapati banyak pengguna jalan yang tak tahu jika ambulans akan lewat. “Apalagi ambulans yang tidak menyalakan sirene, tetapi lampu strobonya berwarna merah dan lampu hazard belakang nyala, biasanya pasien jantung dalam kondisi kritis. Tugas kami adalah memberi tahu pengguna jalan dan menyediakan jalan agar ambulans bisa segera mungkin mengantar pasien dalam kondisi yang stabil, karena ambulans tak boleh berjalan zig-zag," jelasnya.

Dalam kondisi lalu lintas yang padat tugas mereka tentu tak mudah. Cemoohan dan umpatan kekesalan dari pengguna jalan sering diterima anggota, terutama di awal IEA DIY beroperasi, sekitar Agustus tahun lalu. Seiring berjalannya waktu, IEA kemudian melakukan evaluasi untuk meminimalisir konflik dengan pengguna jalan yang belum paham tentang prioritas jalan bagi ambulans. 

“Sikap dan cara kami membuka jalan diperbaiki. Misalnya kami lambaikan tangan meminta pengguna jalan untuk menepi, dan kami berikan acungan jempol pada pengendara yang mau menepikan kendaraanya,” kata Ilyas Zulian Herda Saputra, anggota IEA yang masih duduk di SMKN 6 Yogyakarta.  

Risiko tinggi

Selain resiko konflik dengan pengguna jalan yang lain, relawan IEA juga sadar akan resiko keselamatan diri yang terancam ketika bertugas. Relawan wajib mengenakan baju lengan panjang, celana, sepatu dan helm untuk keselamatan. Tidak lupa kelengkapan surat berkendara seperti STNK dan SIM yang wajib dimiliki anggota IEA.

Mengawal ambulans membutuhkan kesiagaan dan sikap yang tenang serta tidak mudah panik. Sebab relawan bisa melaju hingga kecepatan 100 km/jam jika jalanan memungkinkan. “Di jalan raya ada banyak orang, kami sudah berhati-hati kalau yang lain tidak, maka kecelakaan tetap bisa terjadi” katanya.

Ilyas mengingat seorang temannya mengalami kecelakaan setelah motornya bertabrakan dengan pengendara lain yang melanggar lampu lalu llintas ketika di persimpangan jalan raya. Insiden putus rantai juga pernah dialami relawan ketika bertugas. “Entah kenapa pengendara motor matic itu semakin kencang lajunya di persimpangan dan kemudian dia terjatuh. Teman saya menabrak motor matic yang sudah jatuh itu. Akhirnya pengendara matic yang mengalami luka ikut diangkut ambulans ke rumah sakit sedangkan teman saya menunggu dijemput anggota yang lain di lokasi. Ambulans harus tetap dikawal hingga lokasi hantar atau jemput pasien,” papar Ilyas.

Belum lagi risiko bensin yang bocor ketika relawan bisa mengawal antara empat hingga delapan ambulans dalam sehari. Di dalam Yogyakarta, jarak hantara bervariasi. Rata-rata pengawalan dimulai dari sekitar Sleman untuk menjemput ambulans dari Solo dan wilayah Gunung Kidul hingga masuk ke dalam kota Yogyakarta, seperti di RS Bethesda, Sardjito  ataupun RS Panti Rapih sebagai rumah sakit rujukan.

Default Image IDN

Bagi Nadhim yang berstatus sebagai mahasiswa di UII, uang kiriman orang tua dijadikan donor utama dalam kegiatannya di IEA. Bagi Ilyas yang masih duduk di bangku SMKN, uang bensin didapat dengan menyisihkan uang saku hariannya antara Rp 5 ribu hingga Rp 10 ribu. “Saya hampir tiap hari standby di sini setelah UN kemarin. Pernah saya isi bensin penuh dua kali dalam sehari,” terang Ilyas.

Meskipun tak jarang pasien yang merasa tertolong ingin memberikan imbalan, namun anggota IEA sebisa mungkin selalu menolak pemberian itu. “Kan keluarganya sedang sakit, kan enggak enak rasanya kalau masih diterima. Ini kegiatan kemanusiaan tidak mengharapkan imbalan. Slogan kami 'Berbuat tanpa Berharap',” katanya.

Seperti halnya uang bensin yang ditanggung sendiri, kecelakaan yang dialami oleh anggota juga menjadi tanggungan masing-masing. Asuransi kecelakaan dan kendala lain seperti peralatan keamanan berkendara menjadi tanggung jawab pribadi.

“Kami ini sukarela, kami niat sukarela untuk menolong. Jadi keselamatan diri mulai dijaga sejak dari baju dan helm ketika berkendara. Jika tidak bisa jangan memaksakan diri, kami relawan santai tapi kerjanya serius,” jelas Nadzim. Hal serupa dikatakan oleh Ilyas. Menurutnya waktunya bisa jadi tak sebanyak sekarang ketika sudah bekerja nanti. “Mungkin nanti setelah lulus sekolah dan kerja, waktu saya tidak sebanyak sekarang untuk ikut relawan IEA,” kata Ilyas.

Namun bukan berarti menjadi anggota IEA semudah membalik telapak tangan. IEA memiliki prosedur dalam merekrut anggota. Ada pelatihan dan SOP yang harus dijalani partisipan sebelum menjadi anggota. Syarat utama calon anggota adalah memiliki SIM, kemudian mengikuti pelatihan agar tidak membahayakan pengguna jalan lain.

Setelah terbentuk, tujuan IEA adalah mengedukasi masyarakat tentang pentingnya hak berkendara bagi ambulans. IEA membuka keanggotaan untuk laki-laki dan juga perempuan meskipun di Yogya seluruh anggotanya adalah laki-laki. "Kami akan bubar jika masyarakat sudah sadar tentang prioritas ambulans. Di wilayah lain IEA telah melakukan kegiatan lain, seperti terlibat dalam penanganan bencana, tim saber paku di jalan. Sementara kami menunggu legalitas organisasi yang sedang diproses di Jakarta sebagai pusatnya,” kata Nadzim sambil menyebut saat ini terdapat sekitar 54 korwil IEA di seluruh Indonesia.

Tergerak karena pengalaman pahit

Tak mudah memang menjadi relawan IEA. Semua risiko ditanggung sendiri namun relawan tetap bersemangat dengan tujuan membantu ambulans mendapatkan prioritas di jalan publik. Risiko tersebut ditempuh ketika mengingat pengalaman pahit. Ilyas menuturkan, ambulans ibunya sempat terjebak kemacetan ketika menuju RS Bethesda dari Kecamatan Jetis. Perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh sekitar 7 menit itu memakan waktu hingga 15 menit.

Ibunya dalam kondisi darurat meninggal tak jauh setelah kejadian tersebut. “Setelah itu saya terinspirasi untuk ikut IEA ini. Saya nemunya di YouTube ketika sedang melihat vlog otomotif. Keluarga saya juga mendukung karena tak tega jika mengingat kondisi ibu saya terjebak di jalan waktu itu,” urai Ilyas. Sementara bagi Nadzim, pengalaman kerabatnya meninggal di ambulans menjadi inspirasi agar hal serupa tidak terulang di keluarga lain. “Seharusnya tidak ada lagi pasien yang meninggal di ambulans karena terjebak macet,” katanya.

Bergerak dalam misi kemanusiaan bukan berarti kegiatan IEA tidak mengalami kendala. Aparat kepolisian mengapresiasi inisiatif yang dilakukan IEA terutama untuk meningkatkan kesadaran pengendara agar mengutamakan ambulans.  Kabid Humas Polda DIY AKBP Yuliyanto menyepakati bahwa IEA muncul karena masyarakat tidak paham tentang Pasal 134 huruf b UU nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).

Pasal itu merinci kendaraan yang memperoleh hak utama untuk didahulukan, antara lain kendaraan pemadam kebakaran, ambulans, kendaraan yang menolong korban kecelakaan, kendaraan pimpinan Lembaga Negara RI, kendaraan pimpinan dan pejabat lembaga internasional serta tamu negara, iring iringan jenazah, dan konvoi teretntu menurut pertimbangan petugas kepolisian RI. “Jika paham maka mereka harus mengutamakan ambulans,” kata AKBP Yuliyanto Sabtu 21 April 2018.

Ia menambahkan, kegiatan IEA bisa dilakukan sepanjang mengikuti aturan lalu lintas. Tetapi IEA tetap tidak memiliki kewenangan untuk itu. Sehingga tindakan aparat menegur IEA yang membunyikan sirene atau lampu strobo telah sesuai dengan kewenangan yang dilindungi oleh undang-undang.

"Ini pendapat saya pribadi, kewenangan itu bukan hak. Sayang sekali komunitas pengawal ambulans tidak termasuk dalam pasal 59. Sehingga jika ada petugas Polri yang melakukan penindakan kepada siapapun yang tidak termasuk dalam pasal 59, maka polisi melaksanakan tugasnya sesuai undang-undang,” runtutnya. Pasal 59 dalam undang-undang yang sama menyebutkan penggunaan lampu merah dan biru serta sirene dimiliki oleh kendaraan bermotor  pemegang hak utama.

Ia berharap masyarakat paham, bertoleransi dan berkendara dengan dewasa di jalan raya sehingga memprioritaskan ambulans dan kendaraan bermotor dengan hak utama lainnya. “Jika ada bunyi sirene ambulans, pengguna jalan lain harus kasih prioritas. Jika semua memahami dan menaati itu maka tidak perlu ada pengawalan. Semua pihak harus dewasa,” tuturnya.

—Rappler.com

Editorial Team