Selain resiko konflik dengan pengguna jalan yang lain, relawan IEA juga sadar akan resiko keselamatan diri yang terancam ketika bertugas. Relawan wajib mengenakan baju lengan panjang, celana, sepatu dan helm untuk keselamatan. Tidak lupa kelengkapan surat berkendara seperti STNK dan SIM yang wajib dimiliki anggota IEA.
Mengawal ambulans membutuhkan kesiagaan dan sikap yang tenang serta tidak mudah panik. Sebab relawan bisa melaju hingga kecepatan 100 km/jam jika jalanan memungkinkan. “Di jalan raya ada banyak orang, kami sudah berhati-hati kalau yang lain tidak, maka kecelakaan tetap bisa terjadi” katanya.
Ilyas mengingat seorang temannya mengalami kecelakaan setelah motornya bertabrakan dengan pengendara lain yang melanggar lampu lalu llintas ketika di persimpangan jalan raya. Insiden putus rantai juga pernah dialami relawan ketika bertugas. “Entah kenapa pengendara motor matic itu semakin kencang lajunya di persimpangan dan kemudian dia terjatuh. Teman saya menabrak motor matic yang sudah jatuh itu. Akhirnya pengendara matic yang mengalami luka ikut diangkut ambulans ke rumah sakit sedangkan teman saya menunggu dijemput anggota yang lain di lokasi. Ambulans harus tetap dikawal hingga lokasi hantar atau jemput pasien,” papar Ilyas.
Belum lagi risiko bensin yang bocor ketika relawan bisa mengawal antara empat hingga delapan ambulans dalam sehari. Di dalam Yogyakarta, jarak hantara bervariasi. Rata-rata pengawalan dimulai dari sekitar Sleman untuk menjemput ambulans dari Solo dan wilayah Gunung Kidul hingga masuk ke dalam kota Yogyakarta, seperti di RS Bethesda, Sardjito ataupun RS Panti Rapih sebagai rumah sakit rujukan.
Bagi Nadhim yang berstatus sebagai mahasiswa di UII, uang kiriman orang tua dijadikan donor utama dalam kegiatannya di IEA. Bagi Ilyas yang masih duduk di bangku SMKN, uang bensin didapat dengan menyisihkan uang saku hariannya antara Rp 5 ribu hingga Rp 10 ribu. “Saya hampir tiap hari standby di sini setelah UN kemarin. Pernah saya isi bensin penuh dua kali dalam sehari,” terang Ilyas.
Meskipun tak jarang pasien yang merasa tertolong ingin memberikan imbalan, namun anggota IEA sebisa mungkin selalu menolak pemberian itu. “Kan keluarganya sedang sakit, kan enggak enak rasanya kalau masih diterima. Ini kegiatan kemanusiaan tidak mengharapkan imbalan. Slogan kami 'Berbuat tanpa Berharap',” katanya.
Seperti halnya uang bensin yang ditanggung sendiri, kecelakaan yang dialami oleh anggota juga menjadi tanggungan masing-masing. Asuransi kecelakaan dan kendala lain seperti peralatan keamanan berkendara menjadi tanggung jawab pribadi.
“Kami ini sukarela, kami niat sukarela untuk menolong. Jadi keselamatan diri mulai dijaga sejak dari baju dan helm ketika berkendara. Jika tidak bisa jangan memaksakan diri, kami relawan santai tapi kerjanya serius,” jelas Nadzim. Hal serupa dikatakan oleh Ilyas. Menurutnya waktunya bisa jadi tak sebanyak sekarang ketika sudah bekerja nanti. “Mungkin nanti setelah lulus sekolah dan kerja, waktu saya tidak sebanyak sekarang untuk ikut relawan IEA,” kata Ilyas.
Namun bukan berarti menjadi anggota IEA semudah membalik telapak tangan. IEA memiliki prosedur dalam merekrut anggota. Ada pelatihan dan SOP yang harus dijalani partisipan sebelum menjadi anggota. Syarat utama calon anggota adalah memiliki SIM, kemudian mengikuti pelatihan agar tidak membahayakan pengguna jalan lain.
Setelah terbentuk, tujuan IEA adalah mengedukasi masyarakat tentang pentingnya hak berkendara bagi ambulans. IEA membuka keanggotaan untuk laki-laki dan juga perempuan meskipun di Yogya seluruh anggotanya adalah laki-laki. "Kami akan bubar jika masyarakat sudah sadar tentang prioritas ambulans. Di wilayah lain IEA telah melakukan kegiatan lain, seperti terlibat dalam penanganan bencana, tim saber paku di jalan. Sementara kami menunggu legalitas organisasi yang sedang diproses di Jakarta sebagai pusatnya,” kata Nadzim sambil menyebut saat ini terdapat sekitar 54 korwil IEA di seluruh Indonesia.