Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)

Jakarta, IDN Times - Hidup di tengah kemajuan teknologi membuat siapa saja dengan mudah tersentuh jaringan internet. Berkenalan dengan singkat, menambah relasi dan bercengkrama, jadi hal yang biasa, bukan dengan tatap muka.

Ya, hubungan kini bisa dibangun walau hanya lewat layar gawai saja. Seluruh cerita hari-hari, pengalaman pribadi, swafoto hingga apa yang dimakan hari ini, bisa dengan mudah dibagikan lewat internet.

Namun, tak semua yang ada di internet terlihat biasa saja. Sebab dari jaringan komunikasi elektronik ini pula, seseorang bisa terjerembab, mengalami kekerasan, kehilangan pekerjaan, bahkan tersakiti, hingga mengalami rusaknya reputasi.

Satu hal yang jadi fenomena dan momok buruk belakangan ini adalah revenge porn. Hal-hal seperti ini diketahui adalah satu bagian dari banyaknya Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS) terhadap perempuan.

Untuk diketahui, perempuan memang acap menjadi korban konten intim non-konsensual atau non-consensual dissemination of intimate images (NCII), di mana mereka berisiko besar jadi korban penyebaran konten intim tanpa persetujuan.

Sekadar diketahui, revenge porn adalah jenis pornografi nonkonsensual, yang didefinisikan sebagai distribusi gambar atau video grafis seksual dari individu tanpa persetujuan mereka dalam konteks hubungan intim, mengacu pada ancaman atau tindakan untuk disebarkan dari pasangan atau mantan pasangan, namun istilah ini sudah dinilai problematik.

Hubungan antarpribadi yang terjalin terkadang jadi bumerang. Penyebaran konten intim tanpa konsen KGBS kini bahkan sudah jadi fenomena global. Di mana pelaku, memanfaatkan konten intim atau seksual berbentuk gambar atau video milik korban guna mengancam atau mengintimidasi korban untuk menuruti kemauannya.

Alasan paling umum adalah sakit hati karena ditinggalkan, dikhianati, dipaksa rujuk, atau adanya keinginan untuk dituruti. Hal-hal ini jadi sejumlah alasan pelaku mengancam atau menyebarkan konten intim milik korban.

Artikel ini merupakan hasil beasiswa peliputan "Perempuan Berdaya di Media" yang diadakan oleh Project Multatuli dan Yayasan Hivos dalam kemitraan program We Lead yang didukung oleh Global Affairs Canada.

1. Revenge porn jadi istilah yang problematik

Ilustrasi pornografi (IDN Times/Sukma Shakti)

Revenge porn sendiri sempat diulas SAFEnet sebagai hal yang problematik. Umumnya, menurut SAFEnet, kekerasan yang terjadi pada korban dilakukan karena korban dianggap telah berbuat salah terlebih dahulu, sehingga pelaku berhak melakukan balas dendam.

“Serta kata pornografi mengacu pada industri hiburan, padahal konten intim dalam kasus ini biasanya diproduksi bukan ditujukan sebagai konten untuk industri pornografi, melainkan atas dasar intimasi sebagai pasangan,” sebut SAFEnet dalam modulnya, dilansir Selasa (8/9/2022).

Debarati Halder dan K. Jaishankar dalam “Revenge Porn By Teens In The United States And India: A Socio-Legal Analysis” (2017) mengungkapkan, revenge porn tidak hanya dialami oleh wanita dewasa saja. Sebab nyatanya, banyak anak-anak, terutama gadis remaja kelompok usia 14 hingga 19 yang juga sangat rentan jadi korban dalam kasus ini.

Dijelaskan pula, umumnya penyebaran konten intim non-konsensual kerap memanfaatkan teknologi digital seperti chat, email, postingan di media sosial dan pengunggahan ke penyimpanan.

Ellen Kusuma dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) dan Justicia Avila Veda dari Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender sendiri telah menyusun panduan seputar bagaimana cara korban menghadapi penyebaran konten intim non konsensual lewat “Aku Harus Bagaimana?” pada 2020 lalu.

Ellen bilang, dunia digital saat ini memang bergerak bebas dan cepat. Maka itu, kata dia, pada kondisi tersebut seseorang tentu penting untuk menjaga tubuhnya secara digital alias memperhatikan data-data yang tercipta dari aktivitas di internet agar tak membahayakan dirinya di kemudian hari.

Adapun tubuh digital yang dimaksud Ellen adalah tubuh pribadi yang berasal dari data seperti nama lengkap, foto berisikan wajah atau foto tubuh. Selain itu, biasanya ada bagian tubuh yang nyaris diabaikan, biasanya bagian tubuh digital ini tersembunyi, yakni data di dalam data atau disebut metadata. 

2. Terperangkap dalam jaringan dendam dan konten intim yang dibagikan bebas

Editorial Team

Tonton lebih seru di