Jakarta, IDN Times - Hidup di tengah kemajuan teknologi membuat siapa saja dengan mudah tersentuh jaringan internet. Berkenalan dengan singkat, menambah relasi dan bercengkrama, jadi hal yang biasa, bukan dengan tatap muka.
Ya, hubungan kini bisa dibangun walau hanya lewat layar gawai saja. Seluruh cerita hari-hari, pengalaman pribadi, swafoto hingga apa yang dimakan hari ini, bisa dengan mudah dibagikan lewat internet.
Namun, tak semua yang ada di internet terlihat biasa saja. Sebab dari jaringan komunikasi elektronik ini pula, seseorang bisa terjerembab, mengalami kekerasan, kehilangan pekerjaan, bahkan tersakiti, hingga mengalami rusaknya reputasi.
Satu hal yang jadi fenomena dan momok buruk belakangan ini adalah revenge porn. Hal-hal seperti ini diketahui adalah satu bagian dari banyaknya Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS) terhadap perempuan.
Untuk diketahui, perempuan memang acap menjadi korban konten intim non-konsensual atau non-consensual dissemination of intimate images (NCII), di mana mereka berisiko besar jadi korban penyebaran konten intim tanpa persetujuan.
Sekadar diketahui, revenge porn adalah jenis pornografi nonkonsensual, yang didefinisikan sebagai distribusi gambar atau video grafis seksual dari individu tanpa persetujuan mereka dalam konteks hubungan intim, mengacu pada ancaman atau tindakan untuk disebarkan dari pasangan atau mantan pasangan, namun istilah ini sudah dinilai problematik.
Hubungan antarpribadi yang terjalin terkadang jadi bumerang. Penyebaran konten intim tanpa konsen KGBS kini bahkan sudah jadi fenomena global. Di mana pelaku, memanfaatkan konten intim atau seksual berbentuk gambar atau video milik korban guna mengancam atau mengintimidasi korban untuk menuruti kemauannya.
Alasan paling umum adalah sakit hati karena ditinggalkan, dikhianati, dipaksa rujuk, atau adanya keinginan untuk dituruti. Hal-hal ini jadi sejumlah alasan pelaku mengancam atau menyebarkan konten intim milik korban.
Artikel ini merupakan hasil beasiswa peliputan "Perempuan Berdaya di Media" yang diadakan oleh Project Multatuli dan Yayasan Hivos dalam kemitraan program We Lead yang didukung oleh Global Affairs Canada.