Direktur Utama PT PAL Indonesia (Persero) Budiman Saleh menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Kamis (22/10/2020). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/foc.
Kasus ini bermula ketika Direksi PT DI periode 2007-2010 melaksanakan rapat dewan direksi (BOD/board of director) pada akhir 2007. Dalam rapat itu, mereka membahas dan menyetujui sejumlah hal.
Pertama, penggunaan mitra penjualan (keagenan) beserta besaran nilai imbalan mitra, dalam rangka memberikan dana kepada pembeli PT DI atau end user untuk memperoleh proyek. Kedua, pelaksanaan teknis kegiatan mitra penjualan dilakukan oleh direktorat terkait, tanpa persetujuan BOD.
"Dan persetujuan atau kesepakatan untuk menggunakan mitra penjualan sebagai cara untuk memperoleh dana khusus, guna diberikan kepada customer atau end user dilanjutkan oleh Direksi periode 2010-2017," jelas Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa 3 November 2020.
Pada awal 2008, Budi Santoso, Irzal Rinaldi Zailani, Budi Wuraskito selaku Direktur Aircraft Integration, Budiman Saleh dan Arie Wibowo membahas mengenai kebutuhan dana PT DI.
Sebagai tindak lanjut persetujuan Direksi tersebut, para pihak di PT DI bekerja sama dengan tersangka Didi Laksamana serta para pihak di lima perusahaan. Di antaranya, PT Bumiloka Tegar Perkasa (BTP), PT Angkasa Mitra Karya (AMK), PT Abadi Sentosa Perkasa (ASP), PT Penta Mitra Abadi (PMA), PT Niaga Putra Bangsa (NPB) dan tersangka Ferry Santosa Subrata untuk menjadi mitra penjualan.
"Penandatanganan kontrak mitra penjualan sebanyak 52 kontrak selama periode 2008 sampai dengan 2016. Kontrak mitra penjualan tersebut adalah fiktif dan hanya sebagai dasar pengeluaran dana dari PT DI, dalam rangka pengumpulan dana untuk diberikan kepada customer atau end user," ucap Alex.