Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Anggota Tim Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo (dok. Humas KPK)
Anggota Tim Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo (dok. Humas KPK)

Intinya sih...

  • Uang yang diserahkan Khalid Basalamah masih dihitung oleh KPK

  • Khalid Basalamah mengaku sebagai korban dalam kasus kuota haji khusus

  • Kasus kuota haji khusus diduga merugikan negara sebesar Rp1 triliun

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Budi Prasetyo, mengungkapkan uang yang disita dari Ustaz Khalid Basalamah merupakan hasil dari dugaan tindak pidana korupsi penentuan kuota dan penyelenggaraan haji.

"Penyitaan barang bukti tentu tersebut diduga terkait ataupun merupakan hasil dari suatu tindak pidana. Artinya memang keberadaan dari barang-barang itu dibutuhkan oleh penyidik dalam proses pebuktian dalam penyidikan perkara ini," ujar Budi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan pada Selasa (16/9/2025).

1. Nilai uang yang didapat KPK dari Khalid masih dihitung

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo (IDN Times/Aryodamar)

Budi tak menyebutkan total uang yang diserahkan Khalid Basalamah ke KPK. Sebab, masih dalam tahap penghitungan dan prosesnya juga bertahap.

"Uangnya berapa, jadi memang masih dihitung karena pengembaliannya juga dilakukan secara bertahap. Bertahap informasi yang kami terima seperti itu. Nah, terkait dengan detail dari mananya, nanti kami akan jelaskan konstruksi utuh perkaranya seperti apa ketika kita umumkan nanti pihak-pihak yang ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara ini," ujar Budi.

2. Ustaz Khalid mengaku sebagai korban

Ustaz Khalid Basalamah (IDN Times/Aryodamar)

Khalid mengakui berangkat dengan ratusan jamaahnya menggunakan kuota haji khusus meski bisa berangkat dengan visa haji furoda. Hal itu dia ungkapkan usai diperiksa KPK. Khalid mengaku mengalihkan keberangkatan dengan menggunakan kuota haji khusus setelah mendapat tawaran dari Ibnu Masud yang merupakan Komisaris PT Muhibbah Mulia Wisata.

"Seseorang bernama Ibnu Masud yang pemilik PT Muhibbah dari Pekanbaru menawarkan kami visa ini. Sehingga, akhirnya kami ikut dengan visa itu di travelnya di Muhibbah. Jadi kami terdaftar sebagai jemaah di situ," kata Khalid pada 9 September 2025 lalu.

"Saya kan sebagai jemaah di PT Muhibbah punyanya Ibnu Masud tadi. Jadi, posisi kami ini sebenarnya korban dari PT Muhibbah yang dimiliki oleh Ibnu Masud. Kami tadinya semua furoda. Nah, ditawarkanlah untuk pindah menggunakan visa ini," lanjutnya.

Khalid mengaku tak tahu kuota haji khusus ini bermasalah dan kasusnya ditangani KPK.

"Bahasanya Ibnu Masud kepada kami, PT Muhibah (dapat) kuota tambahan 20 ribu dari Kemenag. Karena dibahasakan resmi dari Kemenag kami terima gitu dan saya terdaftar sebagai jemaah di PT Muhibbah," kata Khalid.

3. Kerugian negara Rp1 triliun

Ilustrasi korupsi. (IDN Times/Aditya Pratama)

Indonesia mendapatkan kuota haji tambahan setelah Presiden RI ketujuh Joko "Jokowi" Widodo bertemu dengan Putra Mahkota yang juga Perdana Menteri (PM) Kerajaan Arab Saudi Mohammed bin Salman Al-Saud pada 19 Oktober 2023.

Berdasarkan Pasal 64 ayat 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8 persen dari kuota haji Indonesia, 92 persennya untuk kuota haji reguler.

Indonesia mendapatkan 20 ribu kuota haji tambahan. Seharusnya, 18.400 kuota untuk jemaah haji reguler dan sisanya untuk haji khusus. Namun, yang terjadi justru pembagiannya dibagi menjadi 10 ribu untuk kuota haji reguler dan 10 ribu untuk kuota haji khusus.

Hal itu tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Agama Nomor 130 Tahun 2024 yang ditandatangani Menteri Agama saat itu Yaqut Cholil Qoumas pada tanggal 15 Januari 2024

KPK pun telah menerbitkan surat perintah penyidikan (SPRINDIK) kasus ini. Namun, belum ada sosok yang ditetapkan sebagai tersangka.

Berdasarkan perhitungan sementara internal KPK, diduga kasus ini merugikan negara Rp1 triliun. Namun, hitungan ini belum melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan.

Editorial Team