Direktur Eksekutif Pusat Kajian Ilmu Politik-Universitas Indonesia (Puskapol UI), Hurriyah. (Instagram/@Hurriyah)
Sementara, Direktur Eksekutif Puskapol UI, Hurriyah mendorong agar pembentuk UU dalam hal ini pemerintah dan DPR merevisi UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol).
Hal tersebut disampaikan Hurriyah saat menanggapi Putusan MK Nomor 135/2024 yang memerintahkan agar pemilu nasional dan daerah/lokal dipisah. Dampak dari putusan ini, UU Pemilu dan UU Pilkada harus segera direvisi.
Namun, menurut Hurriyah, revisi UU Parpol juga diperlukan untuk semakin menguatkan kelembagaan partai politik.
"Kalau kita bicara dalam konteks kelembagaan politik ini juga menyebut saya menjadi PR besar kita bahwa yang perlu diperbaiki dalam rangka penguatan itu sistem presidensial, penguatan lembaga partai politik, penguatan pemilih itu harus dibarengi dengan reformasi kepartaian. Jadi agenda ke depannya pasca putusan ini memang kita perlu mendorong tidak hanya revisi uu pemilu, tapi juga revisi uu pemilu," kata dia dalam diskusi yang digelar daring, Jumat (27/6/2025).
Hurriyah menilai, jika pemerintah dan DPR hanya berfokus pada revisi UU Pemilu saja, maka masalah lainnya tidak terselesaikan. Terutama yang berkaitan dengan demokrasi di internal parpol.
Meski Putusan MK 135/2024 membawa angin segar terhadap demokrasi karena pemilih bisa mengenal luas kontestan yang akan berlaga dalam pemilu. Namun, kader masih tersandera kepentingan politis parpol yang lebih kuat.
"Karena kalau revisi uu pemilu saja tetapi uu parpolnya tidak direvisi saya kira persoalan klasik terkait dengan misalnya minimnya demokrasi internal di parpol termasuk di dalam pencalonan anggota legislatif ini akan tetap berdampak merugikan, terhadap kompetisi yang demokratis di antara parpol, termasuk keterwakilan perempuan," ungkap dia.
Hurriyah menyebut, UU Parpol yang berlaku saat ini justru membuat parpol semakin elitis dan cenderung mengedepankan politik dinasti. Ia menilai, fenomena ini mempersempit kesempatan yang adil bagi kelompok tertentu untuk ikut kontestasi pemilu. Salah satu contohnya, bagi perempuan untuk bisa memasuki ruang kompetisi yang adil dan setara.
UU Parpol ini juga menghasilkan pemerintahan koalisi gemuk. Dampaknya, mekanisme pengawasan dan keseimbangan (check and balance) pemerintahan tidak berjalan ideal.
"Lalu juga yang lain adalah partai politik juga menjadi sangat penting untuk didorong melakukan reformasi kelembagaan karena dampaknya terlihat dalam ketika kemudian Pemilu 2019 dan 2024 menghasilkan koalisi besar ada upaya untuk menguasai parlemen menguasai DPR dan melakukan intervensi lebih jauh," tegasnya.
Lebih lanjut, kata Hurriyah, dengan koalisi parpol pendukung pemerintahan yang gemuk, intervensi terhadap rekrutmen penyelenggara pemilu juga terjadi. Akibatnya, integritas dan legitimasi gelaran pemilu dipertanyakan.
"Ini juga paling kelihatan adalah di rekrutmen penyelenggara pemilu. Artinya rekrutmen penyelenggara pemilu seharusnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya kita mereformasi sistem pemilu di Indonesia. Bukan hanya soal technicality bahwa ada ketidaksesuaian antara masa jabatan penyelenggara pemilu dengan siklus pemilunya, tetapi yang lebih penting dari itu adalah menjaga independensi dan ini independensi ini sangat dipengaruhi oleh politik rekrutmen yang sangat kuat terutama terjadi di pemilu 2019 dan di Pemilu 2024," imbuh dia.