Kumham Akui Ada Petugas Tak Jalankan SOP Maka Setnov Bisa Pelesiran

Jakarta, IDN Times - Kementerian Hukum dan HAM akhirnya memindahkan penahanan narapidana kasus korupsi Setya Novanto dari Lapas Sukamiskin, Bandung ke Gunung Sindur di Bogor. Hal itu lantaran foto mantan Ketua DPR itu tengah berbelanja di toko bahan bangunan viral di media sosial. Padahal, seharusnya Novanto tengah dirawat di RS Santosa Bandung.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat, Liberti Sitinjak didampingi Kalapas Sukamiskin, Tejo Harwanto mengatakan pemindahan itu lantaran Novanto membandel selama ditahan di lapas yang dibangun sejak era kolonial Belanda tersebut.
Mantan Ketua DPR itu dipindahkan pada Jumat (14/6) ke Lapas Gunung Sindur dengan menggunakan mobil ambulans sekitar pukul 22:30 WIB.
Menurut Liberti, hal tersebut merupakan tindakan tegas dari Kemenkumham bagi siapa pun warga binaan Lapas Sukamiskin yang membandel. Ia berharap kejadian yang dialami Setnov menjadi pelajaran bagi warga binaan yang lain agar tak coba-coba membandel.
"Ini murni peristiwa hari ini mendasari saya mengambil keputusan secepat mungkin, malam ini juga. Ini tindakan yang harus saya lakukan sebelum saya melaporkan kepada Pak Menteri (Kemenkumham)," kata Liberti, pada Jumat kemarin, di Lapas Sukamiskin, Kota Bandung.
Lalu, apakah pemindahan Novanto dari Lapas Sukamiskin berlaku secara permanen?
1. Kemenkumham pilih Lapas Gunung Sindur karena punya pengamanan maksimum
Menurut Kepala Bagian Humas Ditjen Pemasyarakatan, Ade Kuswanto, alasan Lapas Gunung Sindur yang dipilih untuk menahan Novanto lantaran tempat itu memiliki pengamanan yang maksimal. Di dalam sel hanya diisi satu orang.
"Dengan demikian diharapkan Setya Novanto tidak akan kembali melakukan pelanggaran tata tertib lapas dan rutan selama menjalani pidananya," kata Ade ketika dikonfirmasi oleh media pada Sabtu (15/6).
Berdasarkan putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Novanto divonis 15 tahun penjara karena terbukti melakukan korupsi terhadap proyek pengadaan KTP Elektronik dan merugikan keuangan negara senilai Rp2,3 triliun.