Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Petugas Basarnas saat melakukan persiapan pencarian korban KM Sinar Bangun (IDN Times/Margith Juita Damanik)

Jakarta, IDN Times - Pada Rabu (18/6), satu tahun yang lalu, berita tenggelamnya KM Sinar Bangun di perairan Danau Toba, Sumatera Utara menggemparkan masyarakat Indonesia. Peristiwa ini juga menyibukkan pewarta tanah air untuk menyampaikan informasi terkini dari lokasi kejadian.

Pemangku jabatan Kementerian Perhubungan hingga Basarnas bolak-balik memberikan konfirmasi kepada wartawan. Pelabuhan Tigaras, Sumatera Utara makin hari makin padat didatangi keluarga korban.

Kapal feri KM Sinar Bangun kala itu mengangkut penumpang dari Simanindo, Kabupaten Samosir menuju ke Tigaras, Kabupaten Simalungun. Disebut-sebut membawa 188 jiwa.

Selang beberapa lama setelah peristiwa nahas dikabarkan, 24 orang berhasil ditemukan, sedangkan 164 jiwa tak ditemukan hingga saat ini.

Isak tangis pecah di Pelabuhan Tigaras. Air mata tumpah, bersamaan dengan doa dan harap agar nyawa sanak keluarga yang belum diketahui keberadaannya dapat kembali. Duka tak berhenti di sana, mengalir hingga setahun pascatragedi yang menguras air mata.

Berikut kilas balik perjalanan reporter IDN Times, Margith Juita Damanik, yang setahun lalu meliput langsung di lokasi kejadian.

1. Menapakkan kaki di tanah Simalungun

Petugas Basarnas saat melakukan persiapan pencarian korban KM Sinar Bangun (IDN Times/Margith Juita Damanik)

Saya berkesempatan meliput langsung ke Pelabuhan Tigaras lebih kurang lima hari pascakejadian. Hari itu, Sabtu (23/6) saya tiba di Pelabuhan Tigaras, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Lima hari berlalu, banyak anggota keluarga korban masih tinggal di posko-posko yang ada di pelabuhan.

Wajah penuh harap, mata sembab, peluk hangat antar anggota keluarga menjadi pemandangan pertama saat saya tiba di lokasi kejadian.

Perasaan saya campur aduk saat pemimpin redaksi menugaskan saya ke sini. Begitu menginjakkan kaki di tanah Simalungun, suara isak dan tangis menjadi hal pertama yang saya dengar dan terus terngiang di telinga saya.

Setiap kali kapal atau perahu tim SAR gabungan merapat ke pelabuhan, kerumunan orang berdatangan. Mengharapkan tubuh anggota keluarganya ditemukan dan bisa dibawa pulang.

Satu sisi, saya beruntung memiliki darah Batak dan dapat mengerti bahasa Batak. "Setidaknya bajunya saja ketemu, supaya ada yang dapat kami makamkan sebagai kenangan," kata salah seorang anggota keluarga kala itu dengan bahasa Batak.

Anggota keluarga yang setia berjaga dan tidur di sekitar pelabuhan tak jarang kedatangan tamu dari anggota keluarga lain. Selalu ada tangis yang pecah, ada doa yang dipanjatkan, ada harap anggota keluarganya dapat pulang.

2. Melihat tim SAR gabungan bekerja tak henti

Editorial Team

Tonton lebih seru di