Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Gedung MK
Gedung MK (Foto: IDN Times)

Intinya sih...

  • Mahkamah Konstitusi (MK) melarang wakil menteri untuk rangkap jabatan berdasarkan putusan MK Nomor 128/PUU-XXIII/2025.

  • Ada dua hakim konstitusi yang berbeda pendapat terhadap putusan tersebut, yaitu Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi Arsul Sani.

  • Bunyi putusan MK mencakup pengabulan sebagian permohonan, menyatakan Pasal 23 UU 39/2008 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, dan memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) resmi melarang melarang wakil menteri untuk rangkap jabatan. Hal itu tertuang dalam putusan MK Nomor 128/PUU-XXIII/2025.

Ketua MK, Suhartoyo, mengatakan dalam putusan tersebut, ada dua hakim konsitusi yang berbeda pendapat.

"Pendapat berbeda atau dissenting opinion terhadap putusan mahkamah a quo terdapat pendapat berbeda dari dua orang hakim konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi Arsul Sani," ujar Suhartoyo dalam sidang, Kamis (28/8/2025).

Salah satu poin dissenting opinion Hakim Konstitusi Daniel, yakni:

Bahwa dalam konteks perkara a quo, pendirian Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 tetap perlu dipertahankan sebagai pedoman atau rambu-rambu (guidance) dalam pengangkatan dan pemberhentian wakil menteri. Rambu-rambu dimaksud semestinya tidak perlu dirumuskan dalam amar putusan, melainkan cukup dalam pertimbangan hukum Mahkamah karena apabila tidak dilakukan kajian yang mendalam dan dipaksakan, maka pemaknaan baru terhadap norma a quo dapat mengaburkan batas peran dan pertanggungjawaban antara menteri dan wakil menteri. Padahal, sebagaimana telah dijelaskan di atas, keduanya berada dalam derajat.

Sementara, salah satu poin dissenting opinion Hakim Konstitusi Arsul Sani, yakni:

Bahwa terhadap permohonan para Pemohon, amar Putusan a quo pada pokoknya menyatakan Pasal 23 UU 39/2008 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana yang termuat dalam Putusan a quo. Menurut saya, dengan amar Putusan demikian, dapat ditafsirkan bahwa Mahkamah telah memosisikan diri sebagai positive legislature, oleh karena Mahkamah tidak sekedar memaknai Pasal UU a quo, namun lebih dari itu, telah menambahkan norma baru, yakni dengan menambahkan frasa wakil menteri ke dalam rumusan Pasal 23 UU 39/2008.

Berikut bunyi putusan MK soal larangan wakil menteri rangkap jabatan:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon I untuk sebagian;

2. Menyatakan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Menteri dan Wakil Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:

a. Pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

b. Komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta;

atau

c. Pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja

Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.”

3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia

sebagaimana mestinya;

4. Menyatakan permohonan Pemohon II tidak dapat diterima;

5. Menolak permohonan untuk selain dan selebihnya.

Editorial Team