Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Pelukis Yos Suprapto (kiri) dan Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana di Galeri Nasional Indonesia. (IDN Times/Amir Faisol)
Pelukis Yos Suprapto (kiri) dan Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana di Galeri Nasional Indonesia. (IDN Times/Amir Faisol)

Intinya sih...

  • Soeharto meninggalkan luka pada masa reformasi. Pahlawan sejati tidak seharusnya membawa dampak kesengsaraan

  • Pemilihan tokoh pahlawan nasional diserahkan ke generasi mendatang

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana, menyoroti rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto. Ia menyinggung soal syarat ketat yang harus dijadikan sebagai pertimbangan.

"Salah satu blue tier point, dia tidak boleh pernah terbukti di bidang lain, dan tidak boleh punya cacat yang bisa membuat nilai-nilai perjuangannya jadi terkurangi. Nah, itu syaratnya sempurna," kata dia.

Bonnie pun menyoroti sejumlah peristiwa penting dalam masa kepemimpinan Soeharto. Mulai dari terbatasnya kebebasan berekspresi, hingga krisis ekonomi yang melanda Indonesia di akhir masa pemerintahan Orde Baru.

"Wacana pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto, perlu melihat fakta sejarah secara utuh. Kalau bicara soal kebebasan berekspresi, sekarang mau ngomong apa saja di media sosial, diperbolehkan,” kata Bonnie kepada wartawan, Jumat (7/11/2025).

“Dulu (era Soeharto) memang tidak ada media sosial. Tetapi kalau kritik, dianggap kritiknya supersif, mengganggu, dan ketafsiran penguasa, dia bisa ditangkap, bahkan hilang. Itu fakta sejarah," sambung Bonnie.

1. Soeharto merupakan pelaku sejarah

Bonnie Triyana (IDN Times/Yuko Utami)

Bonnie menyebut, Soeharto merupakan tokoh bangsa namun ia juga pelaku sejarah. Bonnie menyinggung luka sejarah yang terjadi buntut pemerintahan Soeharto, termasuk pada masa reformasi.

"Krisis tahun 1997-1998 itu menunjukkan bahwa apa yang dibangun selama puluhan tahun itu hanya seperti raksasa berkaki tanah lempung, tidak kuat dia menyangga," kata dia.

Menurut Bonnie, seorang pahlawan sejati tidak seharusnya meninggalkan luka bagi bangsanya sendiri.

"Pahlawan sejati bukanlah dia yang membawa dampak kesengsaraan begitu banyak. Bukanlah dia yang pernah membungkam suara-suara kritis dari aktivis, dari mahasiswa,” ujar Bonnie.

“Bukanlah dia yang merepresi kebebasan berekspresi dan bukanlah dia yang banyak melakukan pelanggaran serta kekerasan terhadap warganya sendiri terhadap rakyat Indonesia," imbuhnya.

2. Singgung banyak korban hilang di era Soeharto

Infografis wacana pemberian gelar pahlawan nasional Soeharto (IDN Times/Sukma Shakti)

Bonnie juga menyinggung banyaknya peristiwa perampasan dan penderitaan rakyat yang terjadi di masa itu. Pahlawan sejati semestinya tidak pernah mendatangkan duka untuk rakyatnya sendiri.

"Dan bukan dia yang menyebabkan puluhan, seratusan ribu orang hilang tidak hanya kehilangan nyawa tetapi juga kehilangan hartanya. Kita lihat di Waduk Kedung Omo, kita lihat di Tapos, kita lihat di Cimacan, ada banyak sekali perampasan-perampasan,” papar Bonnie.

3. Pemilihan tokoh pahlawan nasional diserahkan ke generasi mendatang

Kiri ke kanan: Janet Steele, Uni Lubiz, dan Bonnie Triyana dalam dialog Rewriting Indonesian History pekan Ubud Writers and Readers Festival di Taman Baca Ubud. (IDN Times/Yuko Utami)

Bonnie mengusulkan agar penilaian terhadap tokoh yang layak diberi gelar pahlawan nasional diserahkan kepada generasi mendatang.

"Kalau menurut khidmat saya, mari kita berikan tugas untuk mencari pahlawan sejati ini kepada generasi penerus yang mungkin lahirnya setelah masa itu,” kata Bonnie.

“Agar lebih berjarak melihat masa itu, masa di mana saya tumbuh. Jadi lebih objektif, dan lebih punya kemampuan untuk menentukan mana yang pahlawan sejati dan mana yang bukan," sambung dia.

Editorial Team