Ilustrasi kelapa sawit. (IDN Times/Sunariyah)
Deddy menilai, jatuhnya harga TBS kelapa sawit karena rusaknya rantai pasok terkait moratorium ekspor, mekanisme perizinan ekspor (PE) yang memakan waktu, kebijakan distribusi minyak goreng yang kacau, hingga tingginya beban pungutan ekspor dan flushing out.
“Jadi jangan cari kambing hitam soal Ukraina, sebab harga ke-ekonomian TBS dan CPO itu ambruk karena kapasitas tangki yang overload, sehingga tidak mampu menampung TBS dan siklus CPO nya tidak bisa berjalan normal,” ucap dia.
Dia menganggap penanganan masalah minyak goreng di oleh Luhut gagal. Menurutnya, ekspor tertahan dan negara rugi.
Menurutnya, dunia mencari kebutuhan minyak nabati selain dari kelapa sawit. Sebab, Indonesia belakangan sulit mengeluarkan ekspor karena sistem yang kacau.
“Jadi masalahnya ada pada pengelolaan industri sawit di Indonesia yang carut marut, bukan semata-mata karena pengaruh global,” katanya.
Oleh karena itu, Deddy meminta pemerintah memperbaiki rantai produksi sawit. Sehingga, pemenuhan pasokan dalam negeri dan ekspor bisa terjaga dengan baik.
“Sudah saatnya kebijakan DMO dan DPO dievaluasi, pungutan yang berlebihan dikurangi, distribusi dan cadangan nasional dikendalikan dengan baik,” ujar dia.