Jakarta, IDN Times - Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum di Universitas Andalas, Sumatra Barat, Feri Amsari, menilai langkah yang ditempuh advokat senior Yusril Ihza Mahendra dengan menggugat Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat sejak awal sudah ngawur. Feri menegaskan Mahkamah Agung (MA) tidak berwenang menguji AD/ART parpol karena sifatnya keputusan yang tidak berada di bawah undang-undang.
Sesuai teori, AD/ART adalah aturan yang sifatnya hanya mengikat untuk kader parpol yang bersangkutan.
"Makanya saya bingung ketika mendengar argumen Yusril karena AD/ART bukan produk yang bisa diuji di MA, beda dengan statuta universitas yang merupakan Peraturan Pemerintah (PP). Sementara, cantolan untuk AD/ART disahkan dalam bentuk keputusan Menteri Hukum dan HAM dan tak mengikat ke orang banyak," ujar Feri ketika dihubungi IDN Times pada Senin, 27 September 2021.
Bagi Feri, langkah Yusril dinilai nyeleneh dan tidak sehat. Konsekuensinya hal tersebut dapat merusak kewajaran dalam bertata negara.
"Harusnya MA sejak awal sudah menyatakan bahwa gugatan tersebut bukan kewenangan mereka. Itu kan yurisdiksi absolutnya sudah ada di UUD, gak boleh lagi ditentang. Saya melihatnya langkah gugatan ini aneh dan dipaksakan," kata dia.
Feri juga menilai motif eks kader Partai Demokrat yang diwakili Yusril hingga melayangkan judicial review AD/ART ke MA dinilai diskriminatif. Sebab, tokoh sentral parpol tidak hanya ada di Partai Demokrat saja.
Partai-partai lainnya juga memiliki tokoh sentral yang kuat, termasuk Yusril yang masih menjabat sebagai Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB).
Apa dampaknya bagi sistem perpolitikan di Indonesia bila gugatan AD/ART itu diterima dan diproses oleh MA?