Jakarta, IDN Times - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, mengatakan lebih mudah membongkar praktik korupsi dibandingkan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Sebab, kata Mahfud, proses pelacakan TPPU membutuhkan upaya lebih rumit. Selain itu, nilai aset yang bisa dirampas dan diserahkan ke negara lebih besar dari TPPU.
"Kalau mau memberantas korupsi itu lebih gampang kalau mau. Korupsi ini ukurannya jelas merugikan keuangan negara, memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dan melawan perbuatan hukum. Itu sudah (masuk) korupsi," ungkap Mahfud di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Senin (20/3/2023).
Di sisi lain, biasanya pelaku korupsi hanya dijatuhi hukuman fisik berupa bui. Seandainya jaksa tidak mengenakan Undang-Undang TPPU, maka hukuman yang dijalani koruptor terkesan lebih ringan.
"Tapi kalau TPPU, bagaimana uang yang masuk ke istri saya, itu diduga mencurigakan lalu dilacak oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan)," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
Salah satu modus yang digunakan dalam TPPU yaitu sebuah perusahaan yang sudah lama diketahui tidak beroperasi, namun masih tetap menghasilkan omzet mencapai Rp100 miliar.
"Padahal, tidak ada operasi apapun di perusahaan itu," ujar Mahfud.
Pernyataan Mahfud itu menanggapi dugaan transaksi mencurigakan yang dilaporkan PPATK di Kementerian Keuangan mencapai Rp349 triliun. Angka itu naik dari transaksi sebelumnya yang dilaporkan Rp300 triliun.
Lalu, siapa yang diduga terkait transaksi mencurigakan mencapai Rp349 triliun tersebut?