Mahfud: Pemerintah Tak Minta Maaf untuk Pelanggaran HAM Berat

Jakarta, IDN Times - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD memastikan, pemerintah tidak akan meminta maaf kepada korban dari 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di masa lalu.
Alasannya, permintaan maaf tidak termasuk dalam rekomendasi oleh Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran (TPP) HAM berat di masa lalu. Pemerintah lebih memilih opsi mengakui dan menyesalkan pelanggaran HAM berat itu pernah terjadi.
"Jadi, tidak ada permintaan maaf dan tidak ada perubahan status hukum terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu, yaitu misalnya TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966, itu tetap berlaku," ungkap Mahfud di Istana Kepresidenan, Selasa (2/5/2023).
Ia menggarisbawahi, pemerintah saat ini fokus terhadap pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Total ada 12 peristiwa yang resmi diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat.
"Jumlah peristiwanya tentu tidak bisa ditambah oleh pemerintah karena menurut undang-undang yang menentukan pelanggaran HAM berat atau bukan, itu Komnas HAM. Mereka merekomendasikan 12 peristiwa sejak puluhan tahun lalu," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
Ia menambahkan, Presiden Joko "Jokowi" Widodo bakal kick off upaya implementasi pemulihan hak-hak korban pada Juni 2023. Kick off bakal dilakukan dari tiga lokasi secara simultan di Aceh.
Apa saja upaya pemulihan hak bagi korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang akan dilakukan oleh pemerintah?
1. Pemerintah akan bangun taman belajar mengenai HAM di Aceh
Lebih lanjut, Mahfud mengatakan, kick off implementasi rekomendasi pemulihan hak korban pelanggaran HAM berat di masa lalu dilakukan di tiga lokasi di Aceh. Pertama, Rumoh Geudong dan Pos Statis, kedua di Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA), dan terakhir di Jambu Keupok.
Kick off, kata Mahfud, dilakukan dalam sikap simbolis membuka taman belajar mengenai Hak Asasi Manusia (HAM). Untuk mematangkan rencana tersebut, maka Presiden Jokowi pada Selasa kemarin memimpin rapat terbatas dengan 19 pejabat tinggi, termasuk di dalamnya Mahfud.
"Pada saat ini 19 pejabat setingkat menteri dan kepala lembaga ini akan segera melakukan langkah-langkah koordinasi percepatan," katanya.
Sementara, menurut mantan peneliti LIPI, Syamsuddin Haris, negara sudah sepatutnya meminta maaf terhadap para korban dan keluarga dari pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk peristiwa 1965. Itu, kata Syamsuddin, sebagai bentuk pertanggungjawaban negara atas pembunuhan dan penahanan tanpa proses peradilan terhadap puluhan ribu orang yang tidak berdosa.
Selain permintaan maaf, Syamsuddin juga pernah meminta negara melakukam rekonsiliasi demi terciptanya suasana negara yang kondusif dan tanpa perasaan saling curiga.
"Bangsa kita ini masih saling curiga satu sama lain. Oleh karena itu, butuh suasana saling memaafkan," ungkap Syamsuddin seperti dikutip dari situs resmi LIPI pada hari ini.
Sebab, ia melanjutkan, konstitusi Indonesia pada dasarnya menjamin hak-hak warga negara tanpa memandang ideologi, latar belakang politik, agama dan etnis.
2. Pemerintah akan menyatakan sebagian eksil 1965 bukan pengkhianat negara
Selain itu, pemerintah juga akan memulihkan hak dari para WNI yang menjadi eksil di luar Indonesia. Mayoritas dari mereka semula adalah WNI yang dikirim oleh Sukarno untuk menuntut ilmu ke Eropa pada 1960-an. Tetapi, ketika peristiwa 30 September 1965 meletus, para WNI itu dituding bagian dari gerakan G30S PKI (Partai Komunis Indonesia).
"Karena dulu mereka dianggap terlibat G30S PKI maka jadi korban, sehingga tidak boleh pulang dari luar negeri. Karena waktu itu kan disekolahkan oleh Presiden Sukarno ke berbagai negara di Eropa Timur, Eropa, hingga China," kata Mahfud.
Rencananya para eksil itu bakal ikut diundang untuk kick off upaya implementasi rekomendasi TPP HAM terkait pelanggaran HAM berat. "Jadi, mereka ini bukan anggota PKI. Mereka justru adalah korban, dulu disekolahkan lalu tidak boleh pulang ke Tanah Air," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
Ia menambahkan, contoh nyata individu yang ikut menjadi korban dari tuduhan itu adalah mantan Presiden BJ Habibie. Presiden ke-3 RI itu lulus menuntut ilmu di Jerman pada 1960. Lalu, pada 1963, Habibie berhasil memboyong gelar master.
Ia lulus program doktor tepat di akhir 1965. Alhasil, Habibie ikut dinyatakan tidak boleh pulang ke Indonesia.
Lebih lanjut, Mahfud mengisahkan, BJ Habibie akhirnya bisa kembali ke Tanah Air lantaran ia tak sengaja bertemu dengan Suharto di Jerman pada 1974. Saat itu, Suharto sedang berkunjung ke Jerman.
Mahfud menyebut berdasarkan data Kementerian Hukum dan HAM, ada sekitar 39 orang yang sempat berstatus eksil. Pemerintah akan mengecek data tersebut satu per satu. Meski, Mahfud menyadari mereka sudah tak lagi ingin pulang ke Indonesia.
"Mereka memang tidak ingin pulang ke Tanah Air, tapi mereka akan kami nyatakan sebagai warga negara yang tidak pernah mengkhianati negara," kata dia.
Ia menambahkan, urusan pengkhianatan terhadap negara karena isu 1965 sudah selesai di pengadilan dan tak lagi dipermasalahkan di era reformasi.
"Kan ketika masuk era reformasi, screening dan kebijakan serupa sudah dihapus. Sekarang, semua warga negara diberi hak yang sama di depan hukum dan pemerintahan," ujarnya lagi.
3. Di dalam rekomendasi, Jokowi diminta susun ulang sejarah
Berdasarkan dokumen yang disampaikan oleh Ketua Pelaksana TPP HAM, Makarim Wibisono, berikut 11 rekomendasi yang disampaikan oleh TPP HAM kepada Jokowi:
- Menyampaikan pengakuan dan penyesalan atas terjadinya pelanggaran HAM yang berat masa lalu
- Melakukan tindakan penyusunan ulang sejarah dan rumusan persitiwa sebagai narasi sejarah versi resmi negara yang berimbang seraya mempertimbangkan hak-hak asasi pihak-pihak yang telah menjadi korban peristiwa
- Memulihkan hak-hak para korban atas peristiwa pelanggaran HAM yang berat lainnya yang tidak masuk dalam cakupan mandat Tim PPHAM
- Melakukan pendataan kembali korban
- Memulihkan hak korban dalam dua kategori, yakni hak konstitusional sebagai korban; dan hak-hak sebagai warga negara
- Memperkuat penunaian kewajiban negara terhadap pemulihan korban secara spesifik pada satu sisi dan penguatan kohesi bangsa secara lebih luas pada sisi lainnya. Perlu dilakukan pembangunan upaya-upaya alternatif harmonisasi bangsa yang bersifat kultural
- Melakukan resosialisasi korban dengan masyarakat secara lebih lua
- Membuat kebijakan negara untuk menjamin ketidakberulangan peristiwa pelangaran HAM yang berat melalui:
- kampanye kesadaran publik
- pendampingan masyarakat dengan terus mendorong upaya untuk sadar HAM,
sekaligus untuk memperlihatkan kehadiran negara dalam upaya pendampingan korban HAM - peningkatan partisipasi aktif masyarakat dalam upaya bersama untuk mengarusutamakan prinsip HAM dalam kehidupan sehari-hari
- membuat kebijakan reformasi struktural dan kultural di TNI/Polri
9. Membangun memorabilia yang berbasis pada dokumen sejarah yang memadai serta bersifat peringatan agar kejadian serupa tidak akan terjadi lagi di masa depan
10. Melakukan upaya pelembagaan dan instrumentasi HAM. Upaya ini meliputi ratifikasi beberapa instrumen hak asasi manusia internasional, amandemen peraturan perundang-undangan, dan pengesahan undang-undang baru
11. Membangun mekanisme untuk menjalankan dan mengawasi berjalannya rekomendasi yang disampaikan oleh Tim PPHAM
Sayangnya, di dalam Keppres yang diterbitkan oleh Jokowi, tidak ada instruksi untuk menyusun ulang sejarah seperti yang direkomendasikan oleh TPP HAM.