Dalam sidang, Patrialis yang juga mantan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) mengutarakan pandangannya terhadap petisi dan permintaan dari AILA dan KPAI. Patrialis menyebut kalau Indonesia bukan negara sekuler yang tidak menghormati agama. Maka, Indonesia harusnya berpegang teguh pada apa yang dipercaya. MK sendiri disebut sebagai institusi yang dituntun oleh 'cahaya' Tuhan.
Satu suara dengan Patrialis, ketiga ahli tersebut berfokus pada norma-norma agama dan tidak berlakunya hukum HAM di Indonesia. Menurut Aswanto, selama ini pemerintah dianggap memberikan kebebasan bagi masyarakat lakukan perzinahan. Aswanto mengaku kesal dengan pemerintah yang tidak serius menanggapi masalah seks bebas ini.
Kemudian, Atip Lipulhayat sendiri mengatakan kalau Indonesia adalah negara khusus yang tidak bisa mengikuti hukum HAM. HAM bahkan disebut Atip sebagai hukum yang berbahaya karena akan melanggar seluruh norma agama di Indonesia. Bukan hanya perzinahan di luar nikah, tapi juga cinta sesama jenis yang tidak harusnya diizinkan di Indonesia. Atip menambahkan, LGBT bukan hak setiap orang, maka harus 'diluruskan' kembali melalui hukum yang kuat. Hukum Indonesia hanya mengakui pernikahan pria dan wanita.
Bukan hanya itu, Hamid Chalid pun menyebut kalau pemahaman tentang seks luar nikah dan LGBT Indonesia dipengaruhi oleh pemikiran liberal dari Belanda. Menurut Hamid, secara tidak langsung pasal 248 menunjukkan kalau pemerintah memberikan izin para seks di luar nikah, pemerkosaan terhadap pria dan hubungan sesama jenis. Hamid menambahkan kalau KUHP sendiri semakin liberal.
Pernyataan para ahli dan MK sendiri membuat beberapa aktivis HAM dan LGBT khawatir kalau hal ini akan jadi efek domino. Ya, orang-orang ditakutkan akan bertindak seenaknya karena sudah ada 'hukum yang mengatur'. Aktivis juga menyebut para ahli mencoba mengubah Indonesia jadi negara konservatif.