ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Penunjukkan Iriawan sebagai Pjs Gubernur Jawa Barat sempat membuat publik bingung, sebab biasanya yang menggantikan posisi orang nomor satu di sebuah provinsi kalau masa jabatannya sudah habis adalah Sekretaris Daerah. Namun, Tjahjo berpendapat lain. Ia menilai justru Sekda bisa menggerakan PNS untuk memilih calon tertentu saat pencoblosan nanti.
"Ada yang bilang kok gak Sekda (yang ditunjuk)? Sekda kan nanti diindikasikan menggerakan PNS-nya. Kenapa TNI/Polri ya gak ada masalah. Diambil dari mana ya yang saya kenal saja," kata Tjahjo pada 25 Januari lalu ketika dikonfirmasi media.
Selain nama Iriawan, Tjahjo juga menunjuk Pati Polri lainnya yakni Kadiv Propam Irjen (Pol) Martuani Sormin sebagai Plt Gubernur Sumatera Utara. Tjahjo mengatakan penunjukkan nama keduanya sudah didiskusikan lebih dulu dengan Polri.
"Saya kan sudah konsultasi dengan Pak Kapolri. Kemarin (Pilkada 2017) lewat Menko Polhukam dikasih Pak Carlo Tewu. Sekarang, saya masih butuh dua nama, 'siapa pak kira-kira'. Saya, Pak Wakapolri dan Pak Kapolri berdiskusi begitu," tutur Tjahjo menjelaskan hingga akhirnya keluar dua nama Pati Polri tadi.
Tjahjo menggunakan Permendagri nomor 1 tahun 2018 di pasal 4 ayat (2) sebagai rujukan penunjukkan kedua Pati Polri tersebut. Di sana tertulis pejabat Gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintah pusat atau provinsi.
Proses penunjukkan kedua Pati tersebut tentu mengundang pertanyaan dan kontroversi. Sebagian menilai ditunjuknya dua Pati Polri itu memiliki tujuan terselubung untuk memenangkan satu paslon di Pilkada serentak nanti. Sedangkan, menurut Kepala Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Mustafa Fakhri, langkah Tjahjo mencederai semangat reformasi. Selain itu, juga gak berlandaskan hukum.
"Reformasi yang telah berhasil memisahkan dan menjaga netralitas kedua institusi tersebut seyogyanya tidak ditarik mundur oleh penguasa sipil," kata Mustafa melalui keterangan tertulis pada 27 Januari lalu.