Manusia Gerobak, Yang Terlupakan di Masa Pandemik Corona

Jakarta, IDN Times- Lima meter sebelum pom bensin Mampang Prapatan, Kuat Turyono bersama istri dan tiga anaknya duduk melepas lelah. Mereka baru saja mengitari ruas Jakarta Selatan untuk mencari rongsokan yang masih memiliki nilai jual, seperti kardus, botol plastik kemasan, hingga besi batangan.
Sehari-hari, Kuat bekerja sebagai pemulung sampah di sekitar kontrakannya, di belakang Pasar Mampang Prapatan. Dia bisa mengantongi Rp1 juta per bulan. Namun, sejak pandemik COVID-19, jasanya tidak lagi dipakai warga setempat. Praktis Kuat harus mencari pekerjaan lain untuk menyambung hidup.
“Sejak 1998 sebenarnya saya sudah mungutin sampah. Jadi kalau pagi mungutin sampah, kalau siang rongsokan. Tapi sejak corona, sekarang cuma nyari rongsok saja,” kata Kuat kepada IDN Times, Senin (4/5).
Pendapatannya menipis, nafas hidup Kuat kembang-kempis. Selama dua pekan, dia hanya meraup Rp30 ribu. Padahal, normalnya dia bisa mendapat Rp200 ribu per minggu dari rongsokan. Tak banyak barang yang ia angkut di gerobaknya, selain beberapa kardus dan botol minuman bekas.
Mau tidak mau, Kuat dan istrinya harus rela menahan lapar. Mengurangi jatah makannya, demi mengisi perut anak-anaknya.
“Pendapatan yang sekarang dicukup-cukupin buat kebutuhan sehari-hari. Kalau kita kuat nahan lapar, gak makan itu biasa, yang penting anak-anak gak kelaparan, jangan sampai sakit,” kata Sukarti, isrinya.
Suara Kuat yang semula rendah tiba-tiba meninggi ketika membahas Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Rasa geram muncul. Lelaki berusia 37 tahun itu mengambil dompet dan menunjukkan kartu tanda penduduknya (KTP), sebagai bukti bahwa ia warga DKI Jakarta.
Kuat mengeluh lantaran jaminan kesejahteraan di tengah pandemik sama sekali tidak ia rasakan. “Sekarang disuruh PSBB, tapi gak dapat bantuan apa-apa dari pemerintah? Nyuruh anak saya mati kelaparan di rumah?” katanya dengan nada kesal.
“Kecuali dapat bantuan dari pemerintah, oke saya di rumah. Lah ini, saya mau minta makan sama siapa? Yang ada mati kelaparan bukan mati gara-gara penyakit,” sambungnya.
Pemulung berpotensi jadi carrier COVID-19
Kuat bukan satu-satunya orang yang disiksa pandemik. Sepanjang ruas Kuningan-Ragunan pada sore hari, deretan gelandangan menjadi pemandangan yang lumrah. Mereka menunjukkan diri di pinggir jalan seraya mengharap belas kasih masyarakat. Berharap diberi sembako (sembilan bahan pokok) atau uang, setidaknya makanan untuk berbuka puasa.
Di tengah keresahan akibat pandemik, fenomena musiman juga masih terjadi, yaitu melonjaknya Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di bulan Ramadan.
“Kalau Ramadan banyak yang pura-pura jadi pemulung. Mereka bawa karung tapi gak ada isinya. Cuma ngarepin makan dari orang yang lewat atau kalau ada bagi-bagi bukaan,” ungkap Kuat, yang juga resah karena semakin banyak pemulung berarti semakin dikit rongsokan yang akan ia bawa pulang.
Situasi inilah yang juga dikhawatirkan pemerintah. Sebab, mereka yang tergolong PMKS memiliki mobilitas tinggi, sehingga berpotensi terpapar virus corona.
Kuat, misalnya, setiap hari dia mencari sampah di kawasan Kalibata-Mampang-Pancoran. Ada juga Asep Muhammad Barokah, pemulung asal Ciamis, yang mencari sampah di sepanjang Pancoran-Duren Tiga-Kuningan-Mampang.
Fakta di atas harus disandingkan dengan data bahwa DKI Jakarta merupakan provinsi dengan kasus positif corona terbanyak di Indonesia. Data corona.jakarta.go.id per Sabtu (9/5/2020) menunjukkan bahwa kasus positif corona di Ibu Kota mencapai 4.968 kasus, dengan 437 di antaranya meninggal dunia.
Dari sumber yang sama, jumlah kasus positif di Kecamatan Pasar Minggu, Mampang Prapatan, dan Pancoran mencapai 129 kasus. Tiga kawasan yang biasa dilewati Asep dan Kuat tergolong sebagai zona merah.
Lantaran sekolah yang diliburkan, mereka harus mengajak anak-anaknya berkeliling mencari rongsokan. Tidak mungkin ditinggalkan di rumah. Artinya, potensi keluarga mereka terpapar virus semakin tinggi.
“Akhir-akhir ini naik banyak memang (jumlah PMKS). Di satu sisi kita juga ngadepin pandemik. Pemulung itu kan mobilitasnya tinggi. Mulai dari pemukiman, pertokoan, mereka cari sampah. Potensi mereka jadi carrier (virus corona), jadi OTG (orang tanpa gejala) sangat besar,” kata Dirjen Rehabilitasi Sosial Kemensos, Harry Hikmat, kepada IDN Times, Kamis (7/5).
Beberapa kompleks perumahan menerapkan micro lockdown, isolasi lokal, dengan membatasi jumlah orang yang masuk perumahan. Salah satu yang dilarang masuk adalah para pemulung. Di satu sisi, cara ini efektif untuk mengurangi penyebaran virus corona. Di sisi lain, cara seperti ini ternyata sangat merugikan para pencari rongsokan.
“Dulu normalnya Rp120 ribu (sekali menyetorkan barang ke pengepul), sekarang Rp50 ribu. Berkurang banget gara-garanya banyak komplek yang tutup, jadi cuma cari barang bekas di jalan gede, tapi jalan gede kan sedikit rongsokannya,” kata Asep kepada IDN Times, Senin (4/5).
Dia menambahkan, “Udah gitu pengepulnya gak bisa ngejual lagi karena pabrik pada tutup. Jadi harga jual barang kita juga turun. Dulu botol minuman plastik bersih Rp2.500 per kilo, sekarang jadi Rp800 per kilo.”
Senada dengan Kuat dan Asep, Agus yang merupakan pemulung berdarah Demak juga lebih memilih mati akibat terpapar virus corona daripada mati kelaparan.
“Mau gimana lagi, saya lihat sendiri teman saya yang Batak tuh, pemulung juga, meninggal kemarin, kelaparan, di kolong jembatan,” ungkap Agus, gelandangan yang terjaring Satpol PP, kepada IDN Times.