Warga binaan Lapas Perempuan IIB Jambi (IDN Times/Irfan Fathurohman)
Di belakang bangunan BLK, seorang napi bernama MR sibuk menyelup kain batik ke dalam pewarna bersama tiga warga binaan lainnya. Sesekali perempuan 24 tahun itu dan teman-temannya menyelup kain sambil bergurau, menghibur diri, menikmati suasana di luar sel tahanan.
Menjadi tahanan adalah hal paling berat dalam hidup MR, begitulah yang disampaikannya. Dia harus meninggalkan seorang anak yang masih berusia satu tahun, karena harus mendekam di Lapas IIB Jambi akibat kasus narkoba yang menjeratnya.
MR mengaku, saat itu ia tak memiliki pilihan lain untuk menghidupi sang anak setelah suaminya meninggal dunia. Karena itu, ia pun nekat menjadi kurir sabu yang digerakkan pengedar dari dalam penjara.
“Kemarin tuh karena sendirian gak ada suami udah meninggal, pengaruh kawan juga jadinya salah jalan. Karena cuma itu pilihannya untuk menghidupi anak,” kata MR ditemui IDN Times di Balai Latihan Kerja (BLK) Lapas Perempuan IIB Jambi, Jumat (6/9/2024).
MR telah memperhitungkan antara keuntungan membawa 42 kilogram sabu dengan risiko yang ia hadapi yakni hukuman penjara seumur hidup. Namun, dengan upaya hukum yang ia tempuh, hanya divonis 15 tahun penjara.
Kini, perempuan asal Jambi itu telah menjalani masa penahanan selama lima tahun. Sang anak yang dititipkan ke mantan mertuanya sudah berusia lima tahun.
Selama di dalam tahanan, MR belum pernah melihat buah hatinya. Ia memilih menahan diri, meski rasa rindu kerap menyelimutinya dalam sunyi di sel tahanan.
“Kangen,” kata dia singkat dengan suara lirih.
Di tengah gamang kehidupan masa lalunya, MR mencoba memupuk keahlian untuk bekal kelak setelah bebas dan kembali ke masyarakat.
MR ikut serta dalam unit batik yang merupakan program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSL) atau Corporate Social Responsibility (CSR) Pertamina EP (PEP) Jambi Field.
Ia merupakan satu dari 70 warga binaan yang telah menjalani sepertiga masa tahanan, sebagai syarat untuk bisa ikut berkegiatan di sepuluh unit Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di BLK.
Dari unit batik, MR mendapatkan premi per bulan dari hasil penjualan. Meski tak banyak, setidaknya bisa memenuhi kebutuhannya selama di dalam lapas.
“Kegiatan ini ngebantu banget, kami dapet per bulan paling banyak 100 ribu. Ditabung di registrasi,” kata MR.
Namun demikian, uang bukan tujuan satu-satunya MR ikut berkegiatan di dalam lapas. Dalam tekadnya, ia mengaku sedang menyiapkan diri untuk bisa mandiri ketika bebas nanti.
Selain itu, ia juga sedang menyiapkan mental melawan stigma negatif masyarakat tentang status mantan napi.
“Dengan program gini karena yang gak tahu jadi tahu, jadi di luar sana bisa nyari kerjaan. Karena kalau keluar kan kita tahu, masyarakat kalau tahu kita pernah di dalam sini (penjara) kan susah juga. Tapi saya harus siap menghadapi stigma itu,” kata MR.