Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG-20251004-WA0001.jpg
Menteri Agama, Nasaruddin Umar (dok. Istimewa)

Intinya sih...

  • Al-Qur'an tak hanya dimaknai secara tekstual, tapi juga menuntut kedalaman spiritual

  • Menag singgung isu krisis ekologi, perlu dimulai dari cara berpikir dan landasan teologis

  • Perlu ada tujuan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari, pesantren memegang peran strategis dalam melahirkan fiqih yang responsif terhadap persoalan modern

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar membuka Halaqah Internasional 2025 di Pesantren As’adiyah Pusat Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, Kamis (2/10/2025) malam. Agenda ini mengusung tema Transformasi Sosio-Ekologis dan Solusi Epistemologis Berbasis Turats yang menghadirkan ulama serta akademisi dari dalam dan luar negeri.

Nasaruddin menekankan pentingnya tradisi membaca Al-Qur'an. Ia menjelaskan bahwa setiap Muslim, khususnya para santri, memiliki tiga fokus utama dalam bacaan, yakni alam semesta, diri manusia, dan kitab suci Al-Qur'an Menurutnya, Al-Qur'an juga mendorong agar umat Islam memiliki intelektual kritis.

“Yang pertama adalah membaca alam semesta, yang kedua adalah membaca ayat-ayat yang merasuk dalam diri manusia, dan yang ketiga adalah membaca kitab suci Al-Qur'an,” ujar Nasaruddin dalam keterangannya.

Nasaruddin menjelaskan, makna iqra’ bukan hanya sekadar melafalkan huruf, melainkan juga menghimpun pengetahuan. Manusia, menurutnya, merupakan himpunan paling sempurna yang mencerminkan makrokosmos.

“Himpunan yang paling sempurna adalah manusia. Karena itu, Ibnu Arabi menyebut bahwa sejatinya makrokosmos itu manusia, bukan alam semesta,” ucap dia.

1. Al-Qur'an tak hanya dimaknai secara tekstual

Ilustrasi Alquran (IDN Times/Besse Fadhilah)

Menag juga mengingatkan pesantren agar tidak berhenti pada pemahaman Al-Qur'an secara tekstual. Menurutnya, Al-Qur'an harus dipahami bukan hanya sebagai kitabullah, tetapi juga kalamullah yang menuntut ketakwaan serta kedalaman spiritual.

“Jangan kita bangga hanya karena hafal Al-Qur'an atau mampu menafsirkannya. Di atas langit masih ada langit. Masih ada lapisan terdalam, yakni haqaiq Al-Qur'an,” kata dia.

2. Menag singgung isu krisis ekologi

Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar hari ini membuka Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) Internasional 2025 di Pesantren As’adiyah di Wajo, Sulawesi Selatan, pada Kamis (2/10/2025) (dok. Istimewa)

Dalam kesempatan itu, ia turut menyinggung isu krisis ekologi. Menurutnya, menjaga lingkungan tidak cukup hanya dengan perubahan perilaku, melainkan juga harus dimulai dari cara berpikir bahkan landasan teologis.

“Mustahil kita bisa mengubah ethos tanpa mengubah logos. Dan mustahil kita mengubah logos tanpa meninjau teologi,” ujar dia.

Ia menambahkan, turats memiliki peran penting sebagai fondasi epistemologis yang harus dikaji dengan pendekatan multidisipliner agar tetap relevan dengan tantangan zaman.

“Tidak semua kitab kuning bisa disebut turats. Kitab turats adalah karya yang ditulis oleh ulama mumpuni, yang menghayati filosofi dasar Al-Qur'an dan hadis, serta mampu mengangkat martabat kemanusiaan dan mendekatkan diri kepada Allah,” ucap dia.

Nasaruddin juga menegaskan, tradisi membaca dalam Islam harus berpadu dengan kesadaran kritis terhadap realitas sosial dan ekologis.

“Al-Qur'an itu bukan sekadar informasi, tapi konfirmasi. Membaca Al-Qur'an berarti membaca alam, membaca diri, lalu mengonfirmasikan semuanya dengan wahyu. Itulah tradisi ilmiah pesantren yang harus terus dikembangkan,” kata dia.

3. Perlu ada tujuan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari

Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Amien Suyitno (dok. Istimewa)

Sementara itu, Dirjen Pendidikan Islam, Amien Suyitno, menekankan pentingnya kontekstualisasi maqashid al-syariah atau tujuan-tujuan umum hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, ia menyoroti bab thaharah dalam fiqih yang sering dimaknai sebatas kebersihan fisik, padahal juga mengandung pesan ekologis.

“Menjaga air adalah bagian dari thaharah. Itu artinya menjaga kebersihan dan lingkungan juga ibadah. Inilah bentuk ekoteologi, membaca kehidupan dan alam dengan Al-Qur'an sekaligus ditopang pemahaman turats,” ujar Amien Suyitno..

Amien mengatakan, pesantren memegang peran strategis dalam melahirkan fiqih yang responsif terhadap persoalan modern, termasuk krisis lingkungan. Dengan menjadikan turats sebagai fondasi dan realitas sosial sebagai ruang praksis, ia berharap halaqah ini bisa menghadirkan pemikiran yang memberi arah bagi kebijakan publik.

Editorial Team