Takjil dengan bubur adalah simbol Islam yang melekat dalam praktek keseharian selama Ramadan. Takmir masjid Hariyadi menuturkan, tradisi bubur dimulai oleh Raden Trenggono atau juga dikenal sebagai Panembahan Bodho, murit dari Sunan Kalijogo yang mengelola tanah perdikan di Dusun Kauman. Menurutnya, terdapat empat filosofi Islam yang berbeda dalam bubur yang dipelajari secara turun temurun, yaitu pada kata Bibirin, Beber, Babar dan Bubur.
Bibirin bermakna sebagai hal yang bagus yang akan disampaikan dan didapatkan oleh mereka yang datang ke masjid, yaitu ajaran Agama Islam. Beber berarti akan dijelaskan tentang ajaran agama Islam, dalam bentuk pengajian atau yang lain.
Seperti sore itu, warga mendengarkan pengajian menjelang waktu berbuka. Babar, disamakan dengan sifat bubur yang ekonomis dan merata untuk semua kalangan, bermakna bahwa Islam harus merata dan bisa dipahami di semua kalangan. Serta bubur yang bertekstur lembut, yang melambangkan penyebaran Islam menggunakan cara yang lemah lembut, tidak dengan jalan kekerasan atau menggunakan kekuasaan dan politik.
“Dan itu ternyata berhasil. Para wali itu juga menyampaikan ajaran Islam dengan lemah lembut dan halus. Tidak cukup dengan kata tetapi juga menggunakan simbol dan budaya. Ini lebih meresap pada umat,” katanya.
Memilih simbol nampanya tak semudah yang dibayangkan. Ada hal tertentu yang menyebabkan sebuh simbol lebih bisa diterima dibandingkan simbol yang lain. Lodeh yang kini menjadi teman menyantap bubur misalnya, berasal dari Keraton Yogyakarta. Hariyadi mengingat, menu lodeh baru muncul di masa seputar reformasi, di akhir tahun 1990an.
Kala itu keraton berpesan untuk memasak lodeh sebagai bentuk dari mawas diri. Sebelumnya menu bubur dimakan dengan sayur apapun. Lodeh katanya, menyimbolkan pesan untuk selalu mawas diri di masa sulit. “Lodeh itu pesan keraton, agar orang mawas diri. Pesan ini muncul di masa reformasi. Kita menyesuaikan dengan pesan itu, ini bentuk ada hubungan harmonis dengan keraton," lanjutnya.
Hingga saat ini warga masih mengingat bakti Raden Trenggono dengan melakukan tradisi Nyadran menjelang Ramadan di makam sewu.
Mengenakan kopiah hitam dan sarung, Hariyadi melanjutkan bubur lodeh juga pernah diganti dengan nasi gulai di suatu masa lima tahun lalu. Saat itu tujuannya hanya untuk memberi tanda bahwa puasa telah memasuki hari ke 20 atau lazim disebut malam likuran. Ada warga yang menyumbangkan nasi dan gulai untuk menu buka di masjid. Namun simbol itu gagal diterima.
“Warga protes. Karena sudah terbiasa buka puasa pakai bubur jadi perutnya sakit karena makan nasi,” kata takmir masjid dua tahun terakhir itu. Praktis sejak itu, bubur tak pernah diganti lagi dengan menu lain.
Perubahan lain menyangkut nama masjid. Masjid yang turun temurun disebut dengan nama Kauman kini juga memiliki nama Masjid Sabilurrosyad. Nama yang berarti penunjuk jalan itu digunakan mengikuti kebutuhan administrasi dari Kantor Kementrian Agama setempat. Kini warga sekitar masih menyebut masjid itu sebagai Masjid Kauman.
“Nama masjid Kauman ini mengikuti nama kampung Kauman di sini. Masa ketika santrinya banyak. Dulu, cerita si mbah, ada rumah-rumah untuk pondok itu di sekitar sini,” kata pria berusia 51 tahun itu.
Hal lainnya, kini perempuan dilibatkan dalam proses memasak bubur yang berada di lingkungan masjid Kauman. Koki laki-laki kata Hariyadi sudah tidak lagi memasak bubur mengikuti semakin banyaknya bubur yang dimasak.
“Bubur bertambah mengikuti pertambahan populasi. Tahun 1980 an masih 3 kilo, tahun 1990an naik jadi 4 kilo beras. Sudah nggak mampu masak kalau banyak,” terang Hariyadi yang lama menjabat sebagai sekretaris masjid.
Menurutnya menu bubur menjadi lebih banyak dan lebih spesial pada hari Jumat. Sebab hari itu dipercaya sebagai hari baik untuk beramal dan ada banyak santunan warga yang masuk di hari Jumat. Masjid pun menyediakan pengajian yang mendatangkan ulama dari luar Pandak khusus di hari Jumat. ‘Ini agar tidak bosan saja, biar ada ulama baru, tidak sekedar itu itu saja,” katanya.