Oleh Fariz Fardianto
SALATIGA, Indonesia —Sebuah bangunan galeri lukisan tampak menonjol di tepi Jalan Merak, Mangunsari, Kota Salatiga, Jawa Tengah. Dengan membonceng sang istri, Sabar Subadri baru saja sampai galeri.
"Saya barusan mengantar istri berobat karena lagi enggak enak badan. Silahkan masuk ke dalam galeri, Mas," kata Sabar, saat ditemui Rappler, pada Jumat 20 April 2018.
Siang itu, Sabar mengenakan baju hitam yang dipadukan celana panjang. Ia mengatakan galerinya selama ini menyimpan sejumlah lukisan karyanya yang sempat dipamerkan dari dalam maupun luar negeri.
Terlahir tanpa dilengkapi kedua tangan, Sabar mengaku tak minder saat menekuni seni lukis. Keterbatasan fisiknya justru membuat dirinya termotivasi untuk bersaing ketat dengan orang-orang normal pada umumnya.
"Saya memulai semuanya sejak duduk taman kanak-kanak (TK) pada 1985. Ketika bapak saya jadi penjaga sekolah, saya sering menggambar menggunakan kapur yang berceceran di lantai. Lama-kelamaan bapak menganggap itu sebuah bakat. Kemudian saya ditempa demi masa depan yang jelas lewat bakat saya tersebut," ungkap Sabar.
Ia terbilang beruntung ayahandanya mendukung penuh bakatnya melukis. Kemudian, ujar Sabar, ia mulai ikut lomba menggambar. Karena kemampuannya menggambar menggunakan kaki dianggap unik, keberadaannya mencuri perhatian publik saat ikut lomba tingkat kota maupun provinsi.
Menapaki usia 8 tahun, bakatnya melukis menggunakan kaki semakin terasah. Saat kelas IV SD, ia dilirik Association of Mouth and Foot Painting Artists (AMFPA) yang selama ini giat mengasah bakat-bakat para difabel di bidang melukis.
"Ternyata Bapak saya ngasih izin begitu aja. Harapan orang tua ya biar ndang mapan dan punya pekerjaan tetap," terang pria 39 tahun itu, seraya menambahkan bila ia lalu ikut pameran lukisan AMFPA di Kota Taipe, Taiwan.
Daya tariknya sebagai pelukis kaki bahkan membuat mendiang Tien Soeharto sebagai Ibu Negara Indonesia waktu itu kepincut. Sabar dan rekan-rekannya bertandang ke Cendana Jakarta untuk meminta restu kepada Tien Soeharto. "Setiap anak diminta buat satu karya. Saya ngasih lukisan pemandangan alam dan Bu Tien memberi kado coretan gambar pepohonan," akunya.
Ia mengatakan guru dan teman sebayanya malah antusias mendukung sebagai pelukis kaki. Ini diluar dugaannya mengingat saat bersekolah dulu kerap dicibir oleh banyak orang.