Masjid Nurul Iman Blok M Square (IDN Times/Vanny El-Rahman)
Setelah berbincang dengan Abdullah selama 17 menit, aku memutuskan melanjutkan perjalanan. Semula, aku berniat menjadikan Masjid Cut Meutia sebagai persinggahan kedua. Namun, di tengah perjalanan, aku memutuskan mengambil jalan memutar, menuju Masjid Nurul Iman terlebih dahulu.
Masjid Nurul Iman terletak di parkiran lantai tujuh Blok M Square. Masjid ini dikenal sebagai salah satu masjid yang rutin mengadakan kajian sebelum pandemik melanda. Masjid ini juga memiliki Ka’bah kecil yang digunakan untuk kegiatan manasik haji dan umrah.
Begitu melewati palang parkir Blok M Square, aku sempat bertanya kepada satpam sekitar, apakah ada kegiatan itikaf di masjid tersebut? “Ada kok, langsung aja naik,” jawabnya. Setelah memutari dan menaiki parkiran selama hampir 10 menit, aku akhirnya menginjakkan kaki di Masjid Nurul Iman pada pukul 23.17 WIB.
Suasana parkiran yang begitu sepi dan sedikit menakutkan menurutku, langsung berubah ketika aku tiba di pelataran masjid. Ada banyak orang berlalu-lalang, tapi nuansanya meneduhkan. Di teras masjid terlihat orang-orang yang tertidur di atas sajadah. Sementara, lantunan tilawah dari dalam masjid bak simponi yang menyenandungi telinga.
Setelah mengambil wudu, sama seperti kegiatan awal di Masjid Raya Pondok Indah, aku terlebih dahulu menunaikan salat tahiyatul masjid.
Di sayap kanan masjid, aku melihat seorang lelaki yang bersandar dengan gulungan karpet merah. Dia baru saja duduk setelah mengambil martabak telur yang dibagikan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM). Tepat di hadapannya adalah meja kecil dengan Al-Quran dan botol minum.
“Assalammu’alaikum, pak,” sapaku.
“Wa’alaikumsalam,” jawabnya sembari memperkenalkan diri. Pemuda itu bernama Miqdad. Usianya 25 tahun. Saat ini sedang menempuh studi di Montgomery College, Maryland, Amerika Serikat (AS).
Pemuda asal Bekasi Barat itu mengenakan peci abu-abu muda, koko abu-abu gelap lengan pendek, dengan celana hitam. Satu hal yang mencuri perhatianku adalah tag biru yang dikalungkan di lehernya.
“Ini untuk peserta itikaf. Jadi kalau itikaf yang mau nginep di sini harus bawa surat bebas COVID-19,” kata dia, seraya mengeluarkan tag biru dari kantong kokonya.
Semula, aku mengira Miqdad akan menghabiskan menghabiskan satu malam saja, sebab tidak terlihat banyak pakaian atau aksesoris di sekitarnya. Rupanya, dia telah berniat menghabiskan Ramadan di Masjid Nurul Iman tanpa pulang ke rumah.
“Sudah niat 10 hari full, fokus ibadah. Kalau baju ada di koper. Mandi juga di sini Jadi memang niat gak mau keluar dari masjid,” ungkapnya, tersenyum.
Kabar baiknya adalah itikaf Miqdad tahun ini tidak sendirian. Di tengah waktu libur, dia kembali dari Negeri Paman Sam untuk mengkhitbah perempuan yang kini tengah menuntaskan studi kedokteran gigi di Universitas Moestopo.
Alih-alih khawatir membuatnya repot, Miqdad justru takut dirinyalah yang tidak kuat beritikaf selama 10 hari. “Kalau istri malah sudah sering itikaf, imannya lebih kuat,” tutur dia, menyambung tawa.
“Makanya yang paling saya persiapkan itu ya mental, harus siap kurangin HP. Ini juga pertama kalinya itikaf 10 hari full di Indonesia. Kalau sebelumnya di Amerika pernah 10 hari full,” tambah pemuda yang hijrah ke AS sejak 2016 itu.
Alumni As-Syifa Boarding School itu menargetkan mengkhatamkan Al-Quran di sisa Ramadan. Paling tidak, dia harus membaca dua juz setiap harinya. Kalau suntuk melanda ketika membaca Al-Quran, Miqdad akan menunaikan salat dua rakaat.
“Kalau capek salat juga, saya tasbih, selawat, ya pokoknya itu diputer-puter aja,” ujarnya.
Berdasarkan keterangan DKM Masjid Nurul Iman, hingga Senin, 3 Mei 2021, tercatat 75 peserta itikaf yang menginap. Mereka yang membawa surat bebas virus corona diberikan tempat istirahat yang berbeda dengan muslim yang hanya ingin beritikaf semalam saja.
Setiap harinya diadakan salat malam pada pukul 02.00 WIB dan tausiyah pada pukul 22.00 WIB, khusus malam ganjil. DKM membatasi peserta itikaf hanya untuk 300 orang, 200 jemaah laki-laki dan 100 perempuan.
Jika tidak pandemik, biasanya dia beritikaf di Masjid Al Fattah, Jatinegara. Miqdad sudah terbiasa meningkatkan intensitas ibadah pada 10 malam akhir Ramadan sejak sekolah dasar (SD).
“Dari SD sudah diajak orang tua, jadi sudah biasa. Tapi pas SD masih malas-malasan, jadi itikaf pas malam ganjil aja. Baru sejak SMA (Sekolah Menengah Atas) diniatkan 10 hari full,” kenangnya.
Sebagai mahasiswa jurusan bisnis, Miqdad berdoa agar dia memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. Dia juga berdoa agar rida Allah SWT menaungi keluarganya.
“Harapan pribadi sih semoga itikaf diterima, berkah Ramadannya, dan dilancarkan itikafnya. Itu aja udah kenikmatan,” tutup pemuda yang menggandrungi sosok Ustaz Nizar Saad Jabal.