Menemui Para Pecinta Tuhan: Pencari Malam Lailatul Qadar

Jakarta, IDN Times - Perjalanan malam itu dimulai pada pukul 21.30 WIB, Senin 3 Mei 2021. Bertolak dari Tangerang Selatan, Banten, berpacu bersama Honda Scoopy putih dengan tiga bar bensin tersisa, aku berniat menghabiskan malam untuk bercengkrama dengan para pencari Tuhan.
Julukan itu aku berikan kepada umat Islam yang menghabiskan waktu di masjid bertepatan dengan 10 malam terakhir Ramadan. Mereka adalah orang-orang yang membasahi mulutnya dengan tasbih, menyibukkan diri dengan tilawah, dan berkumpul untuk menyimak tausiyah. Merekalah muslim yang hanya mengharapkan kemuliaan lailatul qadar, suatu malam Ramadan dengan keutamaan layaknya seribu bulan.
Setelah berkendara sekitar 30 menit, tepat pukul 22.01 WIB, aku memutuskan menjadikan Masjid Raya Pondok Indah sebagai titik pemberhentian pertama. Tidak terlalu ramai, namun juga tidak terlalu sepi. Begitulah kesan pertama selepas memarkirkan motor.
Kafeteria masjid juga tidak banyak yang buka. Hanya penjual minuman, bakso, dan dimsum yang masih berjaga hingga larut malam. “Nanti yang beli ya orang-orang yang pada itikaf di masjid,” kata seorang penjaja air minum kemasan.
Tidak jauh dari tangga masjid, terlihat lelaki berkoko biru muda menggendong karpet gulung berwarna hijau. Aku mendekatinya untuk bertanya, apakah ada kegiatan itikaf di masjid ini, karena menduga dia adalah takmir.
“Waduh gak tahu mas, saya juga baru datang ini,” kata dia sembari melepas senyum kepadaku. Rupanya dugaanku salah, ternyata dia salah satu jemaah yang hendak beritikaf si Masjid Raya Pondok Indah.
1. Abdullah beritikaf tanpa membawa gawai
Sesudah 10 menit berkeliling di sekitar masjid, aku pun memutuskan memasuki masjid. Saf salat perempuan terletak tepat di sebelah kiri pintu masuk. Ada sekitar enam perempuan di sana, tiga di antaranya sedang tertidur.
Di sisi lain, tampak beberapa laki-laki yang sibuk membaca Al-Quran. Ada seorang lelaki tua berkacamata yang harus menunduk dan menggunakan lampu tambahan untuk mengaji. Pandangannya telah dimakan usia. Terlihat pula anak muda bergamis putih yang bersandar di pilar masjid, dengan Al-Quran di tangan kanannya.
Tuntas menunaikan dua rakaat tahiyatul masjid, aku mendatangi lelaki bertubuh besar yang sedang menyandarkan diri pada tembok di sisi sayap kanan. Dia adalah Abdullah. Lelaki berusia 35 tahun yang berdomisili di Radio Dalam, Jakarta Selatan.
“Assalammu’alaikum, pak,” sapa ku seraya memperkenalkan diri dan maksud kedatangan ku.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Abdullah, sambil melepas peci putih yang ia kenakan. “Mau wawancara ya, masyaallah, silakan mas, lagi istirahat juga ini,” tambahnya.
Abdullah bercerita kepadaku betapa 10 malam terakhir Ramadan adalah momen spiritual yang sangat tidak ingin ia lewatkan. Lelaki 35 tahun itu sangat takut bila malam lailatul qadar tiba ketika dia sedang melakukan maksiat. Kegelisahan itulah yang mendasari dia beritikaf di Masjid Raya Pondok Indah sejak azan isya berkumandang.
“Yang saya tahu, kita semua pasti dapat lailatul qadar. Tapi pertanyaannya, pada saat malam itu, kita lagi ngapain. Nonton drama Korea? Tidur? Maksiat? Pulang kampung? Atau di masjid?” ujar lelaki yang telah meninggalkan profesinya sebagai bankir, meski telah berkarier selama 15 tahun di salah satu bank swasta.
Tidak ada persiapan khusus. Dia hanya membawa sajadah, jaket, air putih, dan uang saku. Dia juga tidak memiliki bacaan atau amalan khusus, kecuali memperbanyak tilawah Al-Quran. Satu-satunya persiapan dia hanyalah meninggalkan handphone di rumah.
“Kalau ada HP, udah deh, hancur itikafnya,” tutur Abdullah.
Abdullah, yang kini memiliki usaha kedai makanan, sangat senang karena pemerintah mengizinkan kegiatan itikaf di tempat ibadah. “Gak mau sia-siain banget kesempatan ini,” kata dia, merujuk pada Ramadan tahun lalu yang dilewati tanpa itikaf.
Sebelum pandemik COVID-19, Abdullah biasanya beritikaf di Masjid Nurul Iman Blok M Square atau Masjid Agung Al-Azhar.
Malam itu, Abdullah beritikaf sendiri, diantar sopirnya. Kala akhir pekan, lelaki yang mengagumi sosok ustaz Khalid Basalamah itu turut mengajak istrinya beritikaf. “Anak saya kan banyak, masih ada satu yang kecil, jadi gak bisa sering-sering ditinggal,” kata dia.
Pada malam yang penuh berkah itu, Abdullah bermunajat agar pandemik COVID-19 segera musnah dari bumi Indonesia. Dia sangat merindukan masa-masa sebelum virus corona menyerang bumi, seperti kajian bersama, salat berjamaah tanpa menjaga jarak, dan bersilaturahmi dengan kerabat serta sanak famili.
“Saya niatin itikaf 10 malam terakhir sampai sebelum nanti saya ke Bandung. Kalau dulu kan kerja kantoran gak bebas, kalau sekarang udah usaha, bebas. Tentu saya berharap semoga itikafnya berkah, dapat lailatul qadar, dan pandemik cepat berakhir,” ucap dia.
“Barakallah fik (semoga Allah memberkahimu),” itulah kalimat terakhir dari mulut Abdullah kepadaku saat aku meninggalkan masjid.