Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Tangkapan layar YouTube IDN Times
Menteri Kebudayaan, Fadli Zon ketika berbincang di program 'Real Talk' with Uni Lubis by IDN Times. (Tangkapan layar YouTube IDN Times)

Jakarta, IDN Times - Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon tengah dikecam publik setelah menyangkal terkait adanya peristiwa pemerkosaan massal pada kerusuhan Mei 1998.

Gelombang protes terus berdatangan dalam sepekan ini yang ditujukan langsung ke Fadli Zon, karena pernyataannya itu dapat melukai para korban pemerkosaan, dan sekaligus menciderai penegakkan HAM di negeri ini.

Padahal, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) telah merilis adanya kekerasan seksual yang terjadi selama kerusuhan Mei 1998. Dalam laporannya TGPF menyebut, 52 orang menjadi korban perkosaan, 14 orang korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 orang korban penyerangan atau penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual.

Selain itu, TGPF juga menemukan, sebagian besar kasus perkosaan yang terjadi pada Mei 1998 adalah gang rape—diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama. Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain.

Meskipun korban kekerasan tidak semuanya berasal dari etnis China, namun sebagian besar kasus kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 lalu diderita oleh perempuan etnis China.

Dalam sebuah wawancara bersama media asing yang terbit pada 12 Februari 1998, Fadli Zon memang telah menyampaikan pandangannya terhadap eksistensi etnis Tionghoa di Indonesia. Dalam wawancara itu, ia menyeret etnis Tionghoa karena jadi "dalang" yang membuat ekonomi Indonesia jatuh.

Dalam artikel bertajuk "Us and Them" ia mengatakan, sudah waktunya merebut kekuasaan ekonomi. Hal ini merujuk pada kondisi ekonomi Indonesia pada 1998, masa-masa kritis bagi bangsa ini.

1. Fadli Zon menilai etnis Tionghoa bertanggung jawab atas krisis ekonomi 1998

Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam wawancara program Real Talk with Uni Lubis by IDN Times (Youtube IDN Times)

Bagi Fadli Zon, seorang kritikus muda yang sedang naik daun kala itu, kata "mereka" merujuk pada kelompok minoritas etnis Tionghoa di Indonesia, yang menurutnya bertanggung jawab atas krisis ekonomi yang semakin dalam di negara ini pada tahun 1998.

Fadli berpandangan, bila etnis Tionghoa di era itu tidak mengembalikan kekayaan mereka yang ditimbun di luar negeri, ia memperingatkan, inilah saatnya untuk membayarnya.

"Saatnya bagi mayoritas Muslim yang berjumlah 87 persen (merujuk pada data 1998) untuk mengambil alih kendali ekonomi dari komunitas yang hanya mencakup 3 persen dari 200 juta penduduk negara ini," kata dia merujuk hasil wawancaranya bersama "Far Eastern Economic Review".

"Saatnya untuk menyusun Kebijakan Ekonomi Baru yang dapat melangkah lebih jauh dari model Malaysia dalam mempromosikan ras pribumi. Saatnya juga bagi militer untuk membantu menegaskan hak-hak umat Muslim di negara ini," ujarnya lagi dalam wawancara itu.

Sementara itu, para pemimpin KISDI dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia bersikeras bahwa konglomerat etnis Tionghoa merupakan bagian dari konspirasi internasional untuk menjatuhkan rupiah.

2. Resistensi terhadap etnis Tionghoa diterima luas

Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam wawancara program Real Talk with Uni Lubis by IDN Times (Youtube IDN Times)

Far Eastern Economic Review menjelaskan, Fadli tidak sendirian dalam pemikirannya. Faktanya, ide-ide seperti itu semakin diterima secara luas di Indonesia, dan mungkin membuat investor asing khawatir.

Reaksi terhadap pengusaha Tionghoa-Katolik dan Buddha di Indonesia pada era itu dapat menunda terhadap pemulihan ekonomi dan semakin memukul rupiah yang sudah terpukul. Di sisi lain, kebijakan berbasis agama tampaknya berbenturan dengan perdagangan bebas yang dideregulasi lingkungan yang dicari oleh Dana Moneter Internasional.

Fadli dan banyak pemuda Muslim lainnya saat itu berpandangan, tidak ada perbedaan nyata antara konglomerat etnis Tionghoa dan pedagang kecil.

"Mereka akan mengikuti apa yang dikatakan para konglomerat, baik dalam sikap politik maupun ekonomi mereka," ujarnya dalam wawancara itu.

3. Etnis Tionghoa-Indonesia disudutkan

Trisno Yuwono seorang legiun veteran etnis Tionghoa sekaligus murid pelukis Dullah. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Kelompok etnis Tionghoa di Indonesia pada 1998 memang kerap kali disudutkan. Kelompok Tionghoa di Banyuwangi, Jember, Pasuruan, dan kota-kota Jawa lain telah dituduh menimbun barang-barang penting dan menaikkan harga secara tidak wajar.

Kerusuhan dan penjarahan menyebar pada awal Februari 1998 ke Donggala di Provinsi Sulawesi Tengah. Sekali lagi, para korban sebagian besar adalah warga Tionghoa Indonesia.

Pemimpin KISDI dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia secara terbuka mempertanyakan nasionalisme semua orang Tionghoa Indonesia, meskipun mereka mengakui bahwa beberapa orang, seperti ekonom Kwik Kian Gie, telah membuktikan kesetiaan mereka kepada negara.

Editorial Team

EditorSunariyah