Bogor identik macet dan angkot, apalagi akhir pekan jadi tujuan wisata. Terobosan apa yang Anda lakukan untuk ubah citra itu?
Ya, memang ini PR besarnya. Karena persoalan angkot ini ujung-ujungnya adalah bagaimana mengubah kebiasaan dan sistem yang sudah terbentuk sejak lama ke dalam proses perubahan ke sistem yang baru. Kita punya program namanya reduksi, konversi, dan rerouting angkot.
Supaya stigma Kota Bogor, kota seribu angkot, bisa terlepas dan hilang, PR-nya adalah bagaimana pemerintah daerah menyiapkan anggaran yang cukup supaya bisa melaksanakan proses reduksi, rerouting, dan konversi. Itu kurang lebihnya.
Jadi kalau kita bicara rerouting, konversi, dan reduksi, maka harus ada alternatif bagaimana angkot ini berubah. Yang tadinya angkot itu kendaraan pickup yang dimodifikasi, menjadi angkutan penumpang dengan jumlah penumpang relatif terbatas, kita ubah menjadi angkutan yang lebih massal dengan jumlah penumpang lebih banyak.
Artinya, kita bisa menurunkan volume jumlah kendaraan di satu jalur. Nah, ke depan tentu ini gak selesai di situ. Kita pun harus mengantisipasi perkembangan kemajuan sistem transportasi di masa depan. Jadi ini proses yang berjalan terus dan yang pasti Kota Bogor konsisten. Kita akan reduksi, konversi, dan rerouting angkot.
Supaya masyarakat Kota Bogor mendapatkan pelayanan yang satu level, paling tidak dengan daerah-daerah lain di sekitar. Termasuk tadi, yang tinggal di Tangerang Selatan atau di Tangerang. Itu juga dekat dengan Jakarta. Tangerang Selatan, katanya akan terhubung dengan MRT, Kota Bogor akan terhubung dengan LRT. Artinya service level agreement-nya harus kita bangun supaya sama. Jadi jangan ke Bogor atau ke Tangerang jomplang banget, sementara ke Jakarta ada LRT, MRT, Whoosh, Jaklingko, TransJakarta. Kita ingin satu area aglomerasi ini punya level pelayanan yang sama.
Bisa dijelaskan maksud reduksi yang disebut tadi?
Kalau reduksi sudah berjalan. Misalnya, kita menyiapkan satu sistem transportasi baru yang namanya Biskita. Bus sedang dengan kapasitas tiga puluhan penumpang. Nah, setiap Biskita yang diluncurkan harus mereduksi tiga angkot. Tiga banding satu. Kemudian, kalau ada modernisasi angkot, dua angkot lama harus diganti dengan satu angkot baru. Bisa jadi ke depan itu mungkin angkot listrik misalnya. Itu sudah terjadi, sampai sekarang satu Biskita mereduksi tiga angkot. Sekarang sudah ada empat koridor.
Empat koridor Biskita sudah cukup menyentuh area-area masyarakat yang memang membutuhkan angkutan lebih baik. Selanjutnya, bukan hanya empat koridor, tapi ditambah jadi enam koridor, bahkan mungkin delapan koridor. Jadi jumlah angkot yang direduksi akan sama dengan kebutuhan masyarakat. Ke depan, begitu LRT sampai ke Bogor, gak cukup lagi pakai Biskita. Kita harus siapkan sistem transportasi yang seimbang dengan LRT.
Jadi, Bogor ini terhubung dengan Jakarta melalui KRL. KRL ini satu hari bisa 90 ribu orang naik. Nah, gimana caranya nanti kalau ada LRT masuk, mungkin 50 ribu per hari, tanpa dukungan sistem transportasi yang memadai? Jadi kita harus terus berimprovisasi, punya konsep penyelesaian permasalahan, tetapi dilakukan secara gradual.